Categories
Artikel

Food makes human beings human

Oleh: Dr. Dwi Larasatie Nur Fibri, S.TP., M.Sc (Sekretaris Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada, Bendahara Umum Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Alumni KAHO Sint-Lieven, Belgia)

Ilmu Pangan masih merupakan disiplin ilmu yang masih asing bagi kebanyakan orang. Padahal ilmu pangan merupakan displin ilmu yang sangat penting karena manusia akan selalu membutuhkan pangan sepanjang hidupnya. Sehingga ilmu dan teknologi pangan diperkirakan akan terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman.

Ilmu dan teknologi pangan bermula saat Nicholas Appert, seorang koki dari Perancis, mengembangkan proses pengemasan dengan menggunakan bahan dari gelas pada tahun 1784. Kemudian Louis Pasteur berkontribusi dalam bidang mikrobiologi pangan pada tahun 1864. Proses pasteurisasi yang dikembangkannya bertujuan untuk mencegah kerusakan wine. Sejak saat itu ilmu teknologi pangan terus berkembang untuk berbagai keperluan. Banyak sekali cara ditempuh untuk melakukan penelitian bagaimana mengolah, mengemas, dan mengawetkan makanan serta membuat super food, makanan padat gizi yang siap konsumsi dan memenuhi kebutuhan energi vitamin, mineral dan zat gizi lainnya yang dibutuhkan tubuh. Salah satu perkembangan yang cukup pesat adalah menyediakan makanan bagi para astronot di luar angkasa seperti yang dilakukan oleh NASA.

Begitu pesatnya perkembangan ilmu teknologi pangan, membuat seorang ahli kimia dari Perancis, Marcelin Berthelot pada tahun 1894 memprediksi bahwa mungkin di tahun 2000, umat manusia tidak akan lagi bertani atau memasak. Menurutnya, umat manusia akan makan (nutritive pills) pil gizi. Namun pada tahun 2002 Herve This dalam artikel ilmiah berjudul Molecular Gastronomy, berani melawan hipotesa Berthelot dengan mengatakan bahkan hingga tahun 3000 sekalipun, mungkin umat manusia akan tetap makan makanan normal, bukan pil gizi. Dia berpendapat bahwa ketidak akuratan hipotesa yang dibuat oleh Berthelot ini disebabkan karena Berthelot memiliki antusias yang sangat tinggi tentang ilmu pengetahuan pada umumnya dan kimia pada khususnya, tetapi ia lupa bahwa perilaku makanan kita didikte oleh kebutuhan biologis dan budaya kita. Hal ini pun didukung oleh Brillat-Savarin yang berpendapat bahwa Tuhan ”memaksa” manusia makan untuk hidup, diundang dengan nafsu makan, dan dihargai dengan kesenangan. Kesenangan (pleasure) ini hanya bisa ditawarkan oleh makanan dalam bentuk nyata yang dapat dinikmati dengan menggunakan 5 panca indera yang telah dianugerahkan Tuhan untuk kita.

Saya pun sangat setuju sekali dengan Herve This yang menyatakan bahwa tidak akan ada pil gizi, evolusi akan mencegahnya. Tidak secara harfiah kalau pil gizi itu tidak akan ada. Nyatanya pil gizi itu ada, yaitu berupa suplemen. Tidak sedikit juga manusia yang mengkonsumsi dan bergantung pada suplemen. Tapi bagaimana pun juga suplemen tidak bisa dan tidak akan bisa menggantikan makanan asli itu sendiri. Sesuai namanya, suplemen hanya akan menjadi tambahan dan tidak akan menjadi yang utama. Karena makanan tidak hanya memenuhi kebutuhan zat gizi, tapi juga kebutuhan emosional yang tidak bisa didapatkan dari suplemen atau makanan siap santap.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena makanan memiliki berbagai macam fungsi. Dr. Maya Adam dari Standford University dalam video kuliahnya menjelaskan bahwa makanan memiliki dua fungsi utama. Yang pertama sebagai sumber zat gizi sebagai bahan bakar untuk berpikir (seperti yang sekarang saya lakukan—makan sambil berpikir), beraktifitas, dan untuk tumbuh kembang. Selain itu makanan memiliki fungsi kedua, yaitu fungsi sosial. Makanan bisa berfungsi sebagai salah satu cara berkomunikasi, menunjukkan rasa kasih sayang dengan manusia yang lain, memberi rasa bahagia dan nyaman dalam hidup, merayakan suatu momen penting, dan makanan juga menjadi salah satu cara mewariskan kebudayaan dan tradisi. Makanan berguna sebagai alat untuk menyatakan bagian dari kelompok sosial tertentu, misalnya etnis tertentu, vegetarian, vegan, locavore, dll. Bahkan cara makan juga merupakan eksperesi diri atau bagian dari gaya hidup, misal vegetarian food, gourmet (delicate), healthy food (functional food), fast food, atau synthetic food. Prof. Murdijati Gadjito (Guru Besar Universitas Gadjah Mada) menjelaskan bahwa di Indonesia, makanan juga berfungsi untuk menunjukkan status sosial tertentu, salah satu contohnya dalam undangan jamuan makan. Makanan yang disajikan dan cara penyajian makanan menunjukkan strata sosial dari hadirin jamuan makan.

Makanan merupakan salah satu metode berkekuatan besar untuk komunikasi. Dengan makan, kita menjadi akrab, memiliki ikatan batin satu sama lain yang membuat kesehatan (tubuh dan) emosi kita terjaga dengan baik. Jadi makanan juga menjaga kita untuk tetap menjadi makhluk sosial. Lebih dari itu, bagi saya, makanan juga merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada ciptaan-Nya. Meskipun teknologi menyediakan berbagai macam pilihan kemudahan baik dari segi persiapan, pengolahan, penyimpanan, distribusi, penjualan, penyajian, hingga konsumsi, namun tidak akan ada yang bisa menggantikan makanan asli yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Saya menyebutnya ini fitrah. Ini cara Tuhan berkomunikasi dengan makhluknya. Bahwa kita sebagai teknolog pangan mungkin bisa membuat makanan yang super (misalnya: memenuhi kebutuhan gizi yang cukup tinggi untuk sekali makan, memiliki daya simpan yang cukup lama, memiliki karakter yang memudahkan dalam hal transportasi, penyimpanan, dan penyiapan, serta memiliki kemasan yang mudah untuk mengonsumsinya), namun kembali lagi bahwa semua itu tidaklah cukup untuk manusia. Nyatanya NASA yang banyak melakukan proyek untuk mengembangkan ilmu tentang teknologi pangan sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang di hampir seluruh permukaan bumi dan luar permukaan bumi, namun sekarang NASA juga yang memiliki proyek untuk menyediakan makanan segar di antariksa. Dapat dikatakan ini adalah salah satu cara untuk mempersiapkan kehidupan manusia yang berkualitas di luar bumi.

Pertanyaannya jika kita bisa membuat makanan super dengan menggunakan teknologi canggih, mengapa perlu menyiapkan makanan segar yang tidak tahan lama? Bukankan ini membutuhkan energi yang tidak sedikit di luar angkasa? Berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg salad di luar angkasa? Dan berapa lama salad itu akan bertahan, jika mereka tidak segera mengonsumsinya? berapa banyak energi yang harus sia-sia? Dikatakan dalam website mereka, bahwa makanan atau sayuran segar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral di luar angkasa. Tapi bukankah sudah ada vitamin dan mineral dalam bentuk suplemen yang  bisa diatur untuk memenuhi (tidak lebih tidak kurang) kebutuhan manusia?

Lain halnya jika mereka hanya ingin melakukan percobaan. Tapi tentu ini percobaan yang sangat mahal. Jika mereka berusaha menyediakan makanan segar di luar angkasa, pertanyaannya untuk apa? Apa motivasi dibalik semua ini? Judul sub artikel ini mungkin menjadi jawabannya. Bahwa food makes human, human. Bahwa makanan itulah yang membuat manusia menjadi manusia. Selain itu mereka juga berharap untuk bisa menyediakan makanan yang sustainable (berkelanjutan). Hal ini tentu saja perlu direncanakan antara kebutuhan dan daya simpan agar sayur yang diproduksi tidak sia-sia. Namun dibalik itu semua, tentu makan makanan yang siap saji tidaklah senikmat makanan yang kita produksi sendiri. Karena menikmati makanan yang kita produksi sendiri akan membuat manusia terhubung kembali dengan fitrahnya. Ini bisa menjadi salah satu alasan mereka mengembangkan penelitian tentang menanam sayur di luar angkasa.

Bisa jadi keberadaan teknologi justru memutuskan tali komunikasi kita dengan Sang Maha Pencipta. Makanan berteknologi itu telah diproses dengan tahap-tahap yang begitu panjang, rumit dan pelik hingga menjauhkan kita dengan yang alami, yang Tuhan sediakan untuk kita sebagai cara Tuhan berkomunikasi merawat dan menyayangi kita. Itulah mengapa saya percaya dengan prediksi Herve This yang mengatakan bahwa tidak akan ada pil gizi, namun makanan sesungguhnya yang baik (there will never be nutritive pills, but good real food). Saya tidak mengatakan bahwa ilmu teknologi pangan itu sesuatu yang tidak berguna. Tentu saja kita sudah banyak sekali merasakan manfaat dari bidang ilmu ini dan saya tidak mungkin bisa memungkiri nikmat yang satu ini. Teknologi pangan diperlukan untuk waktu dan konteks tertentu. Teknologi pangan memang patut untuk terus dikembangkan, namun sejatinya, kita sebagai manusia akan tetap rindu untuk kembali ke fitrahnya.

——-

Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.

*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.