Oleh: Dimas Rahadian Aji Muhammad, Ph.D (Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Alumni Ghent University)
Berbicara soal Belgia tentu tak lepas dari satu hal, cokelat. Seperti kata pepatah, …Belgia tanpa cokelat, bagaikan dangdut tanpa kendang, seperti film India tanpa goyang…, tidak afdol. Belgia merupakan negara produsen olahan cokelat berkualitas tinggi. Ciri cokelat bermutu tinggi antara lain meleleh pada suhu mulut dan terasa lembut. Teknologi pengolahan cokelat awalnya berkembang di Swiss. Namun, Belgia sukses memanfaatkan teknologi tersebut untuk kemudian menciptakan produk-produk inovatif.
Produk cokelat khas Belgia antara lain praline dan truffle. Praline adalah produk cokelat yang terdiri dari dua bagian penting, yaitu bagian cangkang dan bagian isi. Cangkang praline terasa keras karena memang terbuat dari bahan yang sama dengan cokelat batang. Praline dapat diisi bermacam-macam jenis isian, seperti pasta cokelat, kopi, karamel, cream, kacang tumbuk, liqueur (cairan yang mengandung alkohol), dan sebagainya. Pada Tahun 1857, Jean Neuhaus, seorang peracik obat, menggunakan cokelat untuk menutupi rasa pahit obat. Pada Tahun 1912, Neuheus Jr. berinovasi dengan mengisi cokelat tersebut dengan bahan yang lebih enak. Booom, jadilah praline. Hasilnya diterima dengan baik oleh pasar. Perbedaan truffle dan praline terletak pada cangkangnya. Cangkang truffle terbuat dari campuran cokelat dan cream, sehingga lebih lunak dan lebih mudah meleleh. Pada bagian luar truffle lazimnya ditaburi cokelat bubuk atau kacang almond tumbuk. Sebagian praline dan truffle diproduksi oleh industri skala besar, namun sebagian lainnya produksi oleh para chocolatier (pengrajin cokelat) dalam skala industri rumahan.
Hal yang paling menarik tentang cokelat Belgia adalah bahwa negara ini tidak mempunyai satu pohon cokelat (kakao) sekalipun! Hal ini wajar mengingat pohon kakao adalah pohon yang tumbuh di negara tropis, sedangkan Belgia berada pada wilayah subtropis. Belgia mengenal cokelat pada masa kekuasaan Leopold II pada abad ke-19, ketika melakukan kolonialisasi di negara-negara Afrika. Sejak saat itu cokelat diproduksi di Belgia dari biji kakao yang diambil dari negara-negara jajahannya. Dan pada akhirnya, Belgia menjadi produsen cokelat paling masyhur sejagad raya hingga saat ini. Sampai sekarang pun, biji kakaonya masih diambil dari negara-negara penghasil kakao di wilayah tropis.
Pembuatan cokelat dari biji kakao meliputi beberapa tahapan. Biji yang telah dikeluarkan dari buahnya difermentasi untuk menghasilkan bakal aroma yang enak. Setelah itu biji kakao disangrai untuk menghasilkan citarasa khas cokelat. Biji yang telah disangrai dapat digiling untuk menghasilkan pasta cokelat, dapat pula di-press untuk menghasilkan lemak cokelat. Pasta cokelat, lemak cokelat, gula, susu bubuk, dan lesitin dicampur kemudian digiling. Proses penggilingannya ada dua tahap yaitu melalui roll refiner dan conching. Proses inilah yang paling penting untuk mendapatkan cokelat yang lembut. Setelah itu, dilakukan tempering yang bertujuan membentuk kristal lemak cokelat agar dapat memadat, dan selanjutnya dapat meleleh tepat di dalam suhu mulut. Pada tahap akhir, sebelum memadat, cokelat dapat dicetak terlebih dahulu menjadi cokelat batang atau diisi dengan beragam isian untuk menjadi praline. Cokelat tersebut bisa juga digunakan untuk menyalut biskut, permen, atau beraneka jenis produk confectionary lainnya.
Terdapat ratusan perusahan yang bergerak pada industri tersebut di Belgia. Anggota yang tercatat di Choprabisco (The Royal Belgian Association of the Biscuit, Chocolate, Pralines and Confectionary) sekitar 180 perusahaan. Jumlah tersebut belum termasuk para chocolatier yang mempunyai industri skala rumah tangga. Jumlah pekerja yang bekerja pada industry ini diperkirakan hampir 12.000 orang. Salah satu perusahaan besar di Belgia (Barry Callebaut N.V) merupakan penguasa pasar cokelat di dunia dengan market share 40%. Secara total nilai perdagangan cokelat Belgia ke seluruh dunia lebih dari 1.6 Milyar Euro per tahun.
Melihat fakta tersebut, Belgia menyadari bahwa cokelat merupakan komoditas penting di negaranya. Mereka menyadari pula bahwa kualitas cokelat Belgia sangat bergantung pada kualitas biji dari negara-negara penghasil biji kakao. Oleh karenanya, negara ini berupaya keras untuk terus menjaga dan meningkatkan kualitas biji kakao di negara-negara asalnya. Beberapa alternatif jalan yang ditempuh adalah melalui kerjasama pelatihan dan penelitian antar universitas melalui proyek-proyek yang didanai Pemerintah Belgia.
Selain pada permasalahan bahan baku produksi, mereka mengerti bahwa ada tantangan besar lain yang mereka hadapi adalah tingkat konsumsi cokelat di negara-negara Eropa dan Amerika relatif stagnan. Sehingga, Belgia berupaya melakukan promosi peningkatan konsumsi cokelat ke negara-negara yang mempunyai potensi pasar besar. Asia merupakan sasaran utama misi ini, terutama China, India, dan negara di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, negara berpenduduk besar seperti Russia, Brazil, Meksiko, Nigeria, dan Turki juga merupakan target pemasaran. Memperluas pasar ke daerah baru tentu membawa konsekuensi tersendiri, antara lain menyesuaikan kualitas produk dengan (1) kondisi area pemasaran; (2) selera konsumen daerah pemasaran. Oleh karenanya inovasi harus terus dilakukan negara ini. Namun tampaknya tradisi inovasi telah mengakar kuat, terbukti beragam inovasi produk cokelat telah dihasilkan di Belgia. Saat ini, trend pengembangan produk cokelat diarahkan pada tiga fokus utama, yaitu cokelat yang bermanfaat bagi kesehatan, cokelat yang mampu tahan disimpan lebih lama, dan pengembangan single origin chocolate.
Meskipun tidak mempunyai pohon kakao, Belgia telah berjaya dan tetap terus berupaya untuk mengembangkan produk cokelatnya. Sementara Indonesia yang mempunyai perkebunan kakao begitu luasnya, belum mampu bersaing di pasar cokelat di dunia. Data dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2021), pada Tahun 2020, luas perkebunan kakao di Indonesia mencapai 1,5 juta ha dengan hasil panen mencapai 713.400 ton.
Tingginya produksi kakao tersebut tidak sejalan dengan perkembangan industri cokelat. Hal ini dibuktikan dengan tingginya ekspor dalam bentuk bahan mentah (biji kakao) dan bahan setengah jadi (lemak kakao, pasta kakao, dan kakao bubuk) dibandingkan dalam bentuk bahan jadi (cokelat). Penghasil dan eksportir bahan mentah menduduki kasta paling rendah dalam rantai produksi cokelat dunia. Apabila industri nasional hanya memproduksi dan mengekspor bahan mentah atau bahan setengah jadi, maka nilai tambah yang didapatkan tidak besar. Nilai tambah terbesar akan didapatkan oleh negara yang dapat mengolah bahan tersebut menjadi produk akhir yang berkualitas tinggi.
Perkebunan kakao tumbuh terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia, yaitu Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Irian. Analisis sensoris yang dilakukan oleh Edward Seguine dari Mars Inc., karaktersitik kakao Indonesia antara lain mempunyai rasa pahit (bitterness) dan sepet (astringency) yang kuat; citarasa khas kakao, derajat penyangraian dan rasa floral yang sedang; serta pada beberapa sampel terdeteksi citarasa kayu dan off-flavor dengan intensitas rendah (Cocoa Atlas, 2010). Pada sampel yang lain terdeteksi pula flavor smoky, caramel, nutty, fruitty, dan asam. Profil sensoris kakao secara umum dipengaruhi oleh keadaan ekologi pertumbuhan serta proses pengolahan. Sehingga perkebunan kakao yang tersebar di banyak daerah membuka peluang bagi industri cokelat untuk mengembangkan produk single origin chocolate. Bukan hanya single origin chocolate Indonesia, namun dapat pula dikembangkan single origin chocolate Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, atau Irian. Hanya Propinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Riau yang tidak mempunyai perkebunan kakao. Artinya, single origin chocolate memungkinkan untuk dikembangkan di hampir seluruh propinsi di Indonesia.
Produksi biji kakao di Indonesia yang melimpah serta besarnya jumlah populasi penduduk di Indonesia dan negara di sekitarnya merupakan peluang bagi perkembangan industri cokelat di Indonesia. Seyogyanya industri cokelat nasional dapat mengambil peluang tersebut, dengan mengolah biji kakao menjadi produk cokelat yang berkualitas tinggi serta, paling tidak memenuhi selera pasar Asia. Belgia sebagai negara penghasil cokelat terbaik, telah memulai riset untuk ekspansi pasar ke negara-negara Asia. Apabila industri nasional tidak segera mengantisipasi, pasar Asia akan dikuasai oleh negara-negara yang mempunyai tradisi kuat di industri cokelat. Namun untuk mulai ekspansi ke pasar Asia, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi industry cokelat nasional, antara lain (1) persaingan dengan cokelat produksi Eropa yang sangat kompetitif dari segi kualitas dan penguasaan teknologi; (2) perlu pemahaman terhadap selera konsumen negara tujuan; (3) penguasaan teknologi produksi cokelat yang dapat menghasilkan cokelat bermutu tinggi sekaligus mempertahankan umur simpan dalam jangka waktu lama.
Jika menguasai pasar Asia masih dianggap tidak realistis bagi industri cokelat nasional, maka menguasai pasar domestik harus dapat dilakukan. Gagasan ini perlu segera ditindaklanjuti, sebelum para raksasa industri cokelat datang. Tantangan yang harus dihadapi dalam meraih pasar domestik antara lain tingkat konsumsi cokelat di Indonesia yang masih rendah dan pemahaman masyarakat terhadap kualitas cokelat masih minim. Konsumsi cokelat penduduk Indonesia sampai saat ini pada kisaran 0,3 kg/ kapita/ tahun. Jauh dibandingkan negara-negara Eropa seperti Swiss (9 kg/kapita/tahun) atau Belgia (5 kg/kapita/tahun). Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menaikkan konsumsi cokelat adalah melakukan pengembangan dengan mengikuti trend yang terjadi secara global.
Kemauan untuk terus berinovasi merupakan salah satu hal yang patut diteladani dari Belgia. Meskipun telah menjadi kiblat dalam industri cokelat dunia, negara ini terus melakukan inovasi untuk menciptakan produk baru atau mengembangkan produk yang sudah eksis untuk menjadi semakin baik. Jika sang pemimpin pasar pun melakukan perbaikan berkelanjutan, maka industri cokelat di Indonesia pun tidak boleh dibiarkan stagnan.
——
Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.
*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.