Categories
Artikel

Kuliah dan Berorganisasi, Kenapa Tidak?

Oleh: Dr. M. Nanang Suprayogi (Dosen Psikologi Pendidikan Binus University, Alumni Ghent University, Belgia)

Penantian sekian tahun akhirnya terwujud juga. Setelah berjuang keras dan pantang menyerah, akhirnya saya dapat kuliah S3 setelah mendapatkan beasiswa dari Uni Eropa pada tahun 2012. Tempat studi saya, Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan Ghent University, termasuk dalam jajaran universitas terbaik di dunia menurut beberapa pemeringkatan universitas level internasional.

Kesempatan studi di luar negeri saya manfaatkan sebaik mungkin. Saya tidak hanya belajar bidang akademis saja, namun juga mempelajari budaya dan kemajuan negara-negara Eropa. Saya juga aktif dalam organisasi mahasiswa. Pengalaman berorganisasi semasa S1 itu pula yang membawa saya untuk juga aktif dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belgia. Saya terpilih sebagai Ketua PPI Belgia periode perdana tahun 2014-2015.

Beberapa kawan sering mempertentangkan antara mahasiswa akademis dan mahasiswa aktivis. Bagaimana membagi waktu untuk belajar sekaligus berorganisasi? Bukankah tugas kuliah sudah cukup banyak, mengapa pula mesti menambah lagi tugas dengan berorganisasi? Apakah mahasiswa punya waktu untuk istirahat? Itu deretan pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh mereka.

Tugas kuliah memang banyak, namun tugas organisasi juga menantang, dan saya punya konsep istirahat yang unik. Istirahat bagi saya adalah bergantinya satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Jadi ketika sudah merasa lelah dengan membaca buku dan butuh istirahat, maka saya berganti dari membaca buku menjadi ngobrol atau berdiskusi bersama teman-teman. Bagi saya ngobrol yang paling asyik dan produktif tentu dalam bingkai organisasi. Jadi sesungguhnya berorganisasi itu menjadi istirahat saya setelah kuliah., Sebaliknya, kuliah menjadi istirahat saya setelah berorganisasi. Jadi, dua-duanya menjadi penyemangat kerja. Sebagai mahasiswa akademis sekaligus aktivis, tentu saya harus pandai dalam membagi waktu dan konsentrasi. Agar keduanya dapat berjalan pararel, saling melengkapi.

Ada ungkapan bijak yang mengatakan “Kebenaran yang tak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi.” Ungkapan tersebut sering saya lihat faktanya dalam kenyataan. Kebenaran ternyata dapat dikalahkan, karena kebenaran tersebut tidak diatur secara rapi. Di sisi lain, kebatilan disusun sedemikian tertib dan rapi, sehingga tampak lebih meyakinkan, dan akhirnya dapat mengalahkan kebenaran. Sungguh tragis. Itulah yang makin menguatkan saya untuk terlibat aktif dalam dunia organisasi.

PPI Belgia saat itu memang agak unik. Sudah sekian tahun lamanya PPI Belgia belum memiliki kepengurusan. Kepengurusan yang ada adalah PPI di masing-masing kota, seperti PPI Gent, PPI Leuven, PPI Brussel, PPI Antwerp, PPI Hasselt. Sementara PPI Belgia yang mewadahi PPI seluruh Belgia sendiri belum ada.

Kevakuman tersebut menjadi hambatan untuk berkoordinasi dengan PPI negara-negara lain dalam wadah PPI Dunia. Seperti kejadian pada sekitar bulan Mei 2013, ada undangan kepada PPI Belgia untuk mengikuti Simposium PPI wilayah Eropa dan Amerika di Turki. Saat itu pihak KBRI Brussel kesulitan menentukan kepada siapa undangan tersebut diberikan, karena PPI Belgia belum ada pengurusnya. Akhirnya kegiatan simposium tersebut belum bisa dihadiri oleh perwakilan dari PPI Belgia. Tidak hanya itu, untuk koordinasi internal sesama PPI kota juga kurang efektif, karena tidak ada yang mengkoordinasikannya.

Untuk mengatasi hal tersebut, bertepatan dengan kegiatan Pemilu tahun 2014, semangat teman-teman mahasiswa untuk memiliki kepengurusan PPI Belgia semakin menguat. Akhirnya pada Bulan April 2014 dibentuklah rapat pendahuluan di KBRI, yang kemudian disepakati untuk mendirikan organisasi PPI Belgia. Rapat tersebut kemudian diikuti dengan rapat berikutnya pada bulan Juli 2014,untuk menentukan Ketua PPI Belgia. Peserta rapat kemudian secara aklamasi memilih saya sebagai Ketua PPI Belgia perdana masa bakti 2014-2015. Acara pelantikan pengurus perdana PPI Belgia dilaksanakan bersamaan dengan acara Peringatan Kemerdekaan RI yang ke-70 di KBRI Brussel. Pelantikan dilakukan oleh Duta Besar RI untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa, Bapak Arief Havas Oegroseno (Gambar 1).

Gambar 1. Pengurus PPI Belgia Periode Perdana berfoto bersama Bapak Dubes RI untuk Belgia, Arief Havas Oegroseno, dan para staf KBRI sesaat setelah pelantikan.

Aktif di dunia organisasi tentu banyak memberikan pengalaman berharga, seperti dapat memperluas jaringan akademik dan profesional, sarana belajar melakukan lobi dan diplomasi, wadah untuk mempraktekkan teori-teori yang didapatkan di kampus. Saya belajar berkomitmen dalam menyusun program kerja serta menjalankannya dan tentu juga belajar bagaimana menghadapi gesekan-gesekan sesama para aktivis mahasiswa dalam rangka menyuarakan aspirasi mahasiswa demi negeri tercinta.

Misalnya saat saya mengikuti Simposium Internasional PPI Kawasan Amerika dan Eropa pada tanggal 6-8 Mei 2015, di Kota Moskow, Rusia (Gambar 2). Saat itu saya bertindak sebagai presidium sidang. Beberapa peserta sidang saling beradu argumen, meyakinkan pendapatnya, dengan suara yang kian meninggi, menyebabkan suasana sidang memanas.

“Braak…!” salah satu peserta sidang PPI melemparkan beberapa buku dengan penuh emosi ke meja. Suara lemparan buku yang cukup kencang tersebut membuat suasana sidang menjadi tegang. Para peserta sidang yang terdiri dari perwakilan mahasiswa Indonesia dari berbagai negara-negara di Amerika dan Eropa saling pandang dengan penuh kebingungan. Saya sebagai presidium sidang kemudian menenangkan seluruh peserta dan mengendalikan jalannya sidang agar tetap kondusif.

Gambar 2. Simposium PPI Kawasan Amerika Eropa, di Moskow Rusia

Perdebatan itu terjadi saat para peserta berdiskusi tentang persiapan Indonesia menghadapi ASEAN Community, salah satunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yang akan diberlakukan pada akhir tahun 2015. Persiapan menghadapi ASEAN Community memang menjadi tema utama pada acara tersebut.

Acara sidang berlangsung sangat seru, bahkan molor hingga melebihi batas waktu. Rapat maraton dilakukan sejak pukul 09.00, hingga tengah malam. Perdebatan yang seru di meja sidang pun akhirnya menemukan kesepakatan. Simposium itu menghasilkan rekomendasi yang kemudian disampaikan ke Pemerintah RI yang bernama “Manifesto Moskow”.

Rekomendasi tersebut berisi rekomendasi yang secara umum menegaskan concern mahasiswa terhadap kesiapan Indonesia memasuki Komunitas ASEAN. Beberapa rekomendasi dihasilkan, diantaranya, mahasiswa meminta agar pemerintah lebih memajukan good governance, menghilangkan ego sektoral, meningkatkan mutu SDM melalui reformasi pendidikan, serta mempercepat pembangunan infrastruktur. Rekomendasi inilah yang merupakan sumbangan ide peserta simposium kepada negara Indonesia tercinta.

Ada lagi pengalaman saat mengikuti acara Simposium International PPI Dunia, tanggal 20-22 September 2014 di Tokyo, Jepang. Acara tersebut dihadiri oleh para perwakilan pelajar Indonesia dari 23 negara. Acara tersebut mengangkat tema “Initiating Contribution of Indonesian Young Generation to the World”.

Gambar 3. Simposium PPI Dunia, di Tokyo, Jepang

Pada acara tersebut diselenggarakan berbagai diskusi dengan pembicara-pembicara yang kompeten dalam berbagai bidang, dengan melibatkan pembicara dari unsur pemerintah, perbankan, penelti senior Indonesia yang bekerja di Jepang, dan entrepreneur. Diskusi berlangsung cukup menarik karena membahas aplikasi ilmu pengetahuan dan penerapannya di Indonesia demi kemajuan bangsa. Diskusi juga membahas tentang prestasi anak bangsa dalam kancah penelitian internasional. Setelah diskusi, acara dilanjutkan dengan Kongres PPI Dunia. Salah satu hasil kongresnya adalah menyepakati Pernyataan Sikap PPI Dunia atas permasalahan beasiswa DIKTI yang saat itu sedang bermasalah.

Pada saat itu, mahasiswa menyoroti pola pengelolaan anggaran dan keuangan yang dilakukan oleh DIKTI, seperti keterlambatan pembayaran tuition fee dan living allowance, soal masa studi dan prosedur perpanjangannya, tidak ada upaya proaktif dari DIKTI untuk menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri, dan hambatan komunikasi antara karyasiswa DIKTI dengan DIKTI. Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Koordinator PPI Dunia dan Ketua Perhimpunan Karyasiswa Dikti Luar Negeri (PKDLN). Alhamdulillah, DIKTI telah melakukan perbaikan menyeluruh terhadap pengelolaan beasiswanya. Setidaknya, tidak ada lagi cerita keterlambatan pencairan beasiswa bagi karyasiswa DIKTI di Belgia sejak Tahun 2015. Semoga kebaikan ini dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Demikian, ibarat seekor burung merpati, setelah terbang jauh pergi, pada akhirnya akan kembali pulang ke peraduannya. Demikian juga dengan saya, setelah menimba ilmu jauh melintasi lautan dan benua, pengalaman itu saya kembalikan lagi ke negeri tercinta Indonesia untuk turut serta dalam berkontirbusi membangun negara.

—————-

Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.

*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.


Categories
Artikel

Buka Buku, Buka Mata, Buka Dunia

Oleh: Birgitta Sandhi Hendrowati Nugrohoningtyas (Alumni KU Leuven, Belgia)

Tuhan memang Maha Pengasih. Tahun 2013, saya berhasil mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus untuk program European Master of Food Science, Technology and Nutrition. Beasiswa Erasmus Mundus adalah beasiswa yang didanai oleh Komisi Eropa. Sedangkan program yang saya ambil ini adalah konsorsium dari 4 universitas berbeda: KU Leuven di Belgia, Dublin Institute of Technology di Irlandia, Hochschule Anhalt (the Anhalt University of Applied Sciences) di Jerman dan Universidade Catolica Portuguesa di Portugal. Dalam program ini saya harus menyelesaikan modul wajib dan memilih modul pilihan di 4 universitas tersebut. Rasanya masih tidak percaya impian saya untuk belajar sambil jalan-jalan tercapai karena saya harus bersekolah dan tinggal di negara-negara tersebut. Saya juga mendapat kesempatan untuk magang di FAO1 di Italia. Jadi lengkap sudah pengalaman saya menjelajah Eropa dari utara sampai ke selatan.

Enak ya bisa sekolah dan magang di 4 negara berbeda! Komentar itu sering saya dengar. Andai mereka tahu bahwa semua itu ada tantangan dan keuntungannya. Tantangan yang paling bisa dilihat kasat mata adalah mengangkut satu tas besar seberat 27 kilo, satu tas kabin dan satu backpack berisi laptop ke mana pun saya pindah. Jangan dibayangkan di Eropa ada kuli angkut. Semua harus dibawa sendiri. Saya juga harus jalan kaki dan gonta-ganti naik bis dan kereta. Tantangan kedua, dan yang paling membuat pusing, adalah mematuhi peraturan di 4 negara berbeda. Peraturan tentang visa, izin tinggal, dan pajak harus dipahami dan dipatuhi. Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah menemukan tempat tinggal, kesulitan komunikasi dengan penduduk lokal, keribetan packing dan unpacking, serta mencari tahu bagaimana cara yang paling efisien dan murah untuk pindah dari satu negara ke negara lain. Tapi saya mendapatkan keuntungan yaitu pengalaman hidup di 4 negara berbeda yang membuka mata saya.

Sebagai mahasiswa nomaden, saat orientasi merupakan saat yang paling menarik untuk saya. Setiap universitas biasanya memberikan gambaran secara umum tentang sejarah negara, sejarah kota dan jika beruntung dilanjutkan dengan wisata keliling kota.  Masa orientasi yang paling berkesan adalah yang diberikan oleh KU Leuven. Teman-teman satu program dikumpulkan di ruang kelas dan diberi penjelasan tentang Belgia. Kami juga diminta untuk menceritakan tentang negara masing-masing. Masyarakat Belgia cukup mengenal Indonesia karena pengetahuan tentang Indonesia diberikan sebagai bagian dari pelajaran sejarah mereka. Belgia pernah menjadi bagian dari Belanda sebelum akhirnya memisahkan diri saat Revolusi Belgia. Kami lalu diajak keliling kota dengan berjalan kaki sambil diberi penjelasan mendetail tentang bangunan yang bersejarah. Siapa sangka kami lalu diajak ke restoran untuk makan malam. Yeeyy

Proses adaptasi dengan cuaca berjalan dengan cukup baik karena saya tiba di Belgia pada akhir bulan Agustus. Saat itu udara masih cukup hangat. Selama saya berpindah-pindah negara, saya belum pernah merasakan cuaca yang terlalu ekstrem. Salah seorang teman memberi tips: kalau belum musim dingin jangan pakai baju tebal-tebal. Usahakan agar badan beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Kalau musim gugur sudah pakai baju tebal-tebal, nanti saat musim dingin mau ditambah pakai baju apa lagi? Tips ini terbukti berguna untuk survive saat musim dingin.

Mengecek ramalan cuaca saat malam hari untuk menentukan pakaian dan peralatan yang harus dibawa merupakan wajib hukumnya. Cuaca dan suhu udara, terutama di Belgia dan Jerman, bisa sangat berbeda dari hari ke hari. Kemarin sejuk, hari ini bisa menjadi dingin. Namun kebiasaan ini tidak berlaku di Irlandia. Tidak perlu repot-repot mengecek ramalan cuaca di Irlandia karena hampir setiap hari hujan disertai angin. Tidak ada gunanya juga membawa payung karena pasti akan tertiup angin. Jadi jas hujan adalah peralatan wajib. Irlandia juga adalah negara yang cuacanya paling aneh menurut saya. Dalam satu hari bisa ada tiga cuaca atau lebih, tanpa pola yang jelas: cerah-berawan-hujan disertai angin-salju-cerah-berawan-salju-hujan disertai angin lagi.

Bergaul dengan orang-orang dari 4 negara sangat memberi warna berbeda pada kehidapan sekolah saya. Orang Belgia cenderung introvert dan menjaga jarak. Orang Irlandia lebih terbuka dan ramah. Walaupun pertama kali saat mereka menyapa ”How’s it going?” saya menjawabnya dengan detail dan jujur. Berasumsi bahwa mereka ingin mengetahui kabar saya yang sebenarnya, karena pertanyaan itu ditanyakan setiap hari. Baru agak lama saya tersadar bahwa sapaan itu cukup dijawab dengan “Fine, thank you!”. Negara Jerman yang terkenal dengan efisiensinya tercemin dari penduduknya. Orang Jerman sangat tepat waktu, menghargai privacy, taat mengikuti peraturan dan cukup kaku menurut pendapat saya. Hanya orang Italia yang karakternya mirip dengan orang Indonesia. Sangat suka bercerita, ramah, perhatian, namun juga mudah marah, tidak tepat waktu, dan tidak tertib.

Namun diantara semua itu, culture shock merupakan hal yang sangat membuka mata saya, bahwa kebiasaan yang dianggap tidak wajar di suatu negara dapat menjadi sebuah kebiasaan yang wajar di suatu negara. Saya akan memberi contoh dengan kebiasaan saat bertemu dengan hugging (peluk) dan check-kissing (cium pipi). Saya dapat menerima kebiasaan peluk. Kebiasaan ini menunjukkan kedekatan dengan seseorang. Pelukan juga secara ilmiah dikatakan dapat menyembuhkan kesepian, memperbaiki mood dan menciptakan kegembiraan karena meningkatan produksi oksitosin dan serotonin. Bahkan saya pernah menemukan kasus ekstrem seseorang membawa papan bertuliskan free hugging di sebuah kota di Jerman. Mungkin pria ini kesepian! Hahaha!

Kebiasaan cium pipi lah yang memberikan tantangan tersendiri untuk saya. Saya harus mengingat jumlah yang tepat untuk negara yang berbeda: Belgia tiga kali, Jerman satu kali, dan Italia dua kali. Kadang saya juga mengalami saat memalukan dengan memberikan pipi yang salah, kanan atau kiri dulu. Penduduk Eropa biasanya menerima jabat tangan, karena sebagai orang Asia kita tidak terbiasa dengan pelukan atau cium pipi. Namun semakin kita dekat secara pribadi dengan mereka, mereka mengharapkan kita untuk menerapkan kebiasaan tersebut.

Masih banyak culture shock yang membuat saya sebagai mahasiswa Indonesia harus beradaptasi. Seperti hambatan bahasa lokal, penggunaan tisu toilet alih-alih air, minum minuman alkohol, partying, makanan halal, table manner (sampai sekarang saya masih kesulitan makan nasi dengan menggunakan pisau dan garpu), cara berpakaian, mekanisme siapa yang membayar saat makan atau minum bersama, pemberian tip kepada pramusaji atau barista, mengembalikan gelas dan piring setelah makan, penggunaan jalan saat bersepeda, bagaimana penduduk Eropa biasanya sangat straightforward dan direct dalam mengekspresikan perasaannya dibandingkan orang Asia, dan masih banyak hal lainnya. Pepatah mengatakan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Namun kita tetap harus pandai-pandai memilih, kebiasaan apa saja yang sesuai dengan norma negara asal kita.

Menikmati Perpustakaan di Belgia

Tidak semua kebiasaan kebiasaan orang Eropa kurang baik. Justru banyak sekali kebiasaan baik yang dapat dicontoh seperti tepat waktu, teratur, budaya antri dan tertib, pemisahan sampah, etos kerja yang efisien dan lain sebagainya. Namun pada kesempatan kali ini saya ingin mengangkat tentang budaya membaca. Belgia merupakan negara Eropa yang paling lama saya singgahi sehingga saya ingin menjadikan negara ini sebagai tolak ukur.

Pertama kali menginjakkan kaki di perpustakaan umum (dalam bahasa Belanda disebut bibliotheek) di kota tercinta Ghent membuat saya berangan-angan seandainya kota-kota di Indonesia memiliki perpustakaan seperti ini. Sistem di perpustakaan dibuat untuk memudahkan anggota dan meningkatkan minat baca. Ghent memiliki 18 perpustakaan umum. Untuk mendaftar sebagai anggota perpustakaan cukup membawa resident card karena sistem komputerisasi di Belgia sudah terintegrasi dengan baik. Petugas perpustakaan akan memberikan kartu keanggotaan perpustakaan. Dengan memiliki kartu tersebut, anggota dapat mempergunakan fasilitas komputer di perpustakaan, wi-fi gratis, scan gratis, print, fotokopi dan tentu saja meminjam koleksi di perpustakaan.

Perpustakaan Ghent dibagi menjadi area dewasa dan anak-anak. Perpustakaan memiliki berbagai koleksi buku fiksi dan nonfiksi. Walaupun sebagian besar berbahasa Belanda, terdapat koleksi yang cukup banyak untuk buku berbahasa Inggris, Perancis dan bahasa lain. Terdapat pula koleksi majalah, komik, DVD, CD, CD-ROM, audio book dalam CD, koleksi musik dan film.

Berapa banyak koleksi yang dapat dipinjam oleh setiap pemegang kartu? Maksimum 10 buku, 10 komik, 10 CD, 10 majalah dengan maksimum total peminjaman 30 buah. Sedangkan untuk koleksi yang lain maksimum empat DVD, empat sprinter, empat course dengan maksimum total peminjaman 16 buah. Koleksi dapat dicari sebelumnya secara online dari luar perpustakaan. Proses peminjaman dilakukan dengan scan mandiri koleksi yang akan dipinjam. Lama peminjaman empat minggu dan bisa diperpanjang. Jika ingin mengembalikan koleksi dapat datang ke perpustakaan selama jam buka, atau meletakkan koleksi pada semacam kotak surat setelah perpustakaan tutup.

Bagi saya, fasilitas yang sangat membantu adalah platform Mijn Bibliotheek (Perpustakaan Saya). Platform ini dapat digunakan untuk mencari koleksi dan memesannya sebelum peminjaman, membaca semua artikel di koran-koran Flemish, memperpanjang waktu peminjaman tanpa harus datang ke perpustakaan, dan fasilitas Mijn-lijsten yang memuat daftar koleksi favorit atau koleksi yang ingin kita baca. Platform ini juga terhubung dengan e-mail pribadi kita yang memberikan e-mail notifikasi untuk daftar koleksi yang kita pinjam, peringatan jika mendekati akhir waktu peminjaman dan detail denda. Untuk denda, pembayaran dilakukan menggunakan mesin khusus yang hanya dapat menggunakan kartu (tidak dapat menggunakan uang tunai). Saya juga dapat mendownload e-book gratis yang tentunya sangat menggiurkan untuk mahasiswa seperti saya.

Banyak masyarakat umum, pelajar dan mahasiswa Belgia yang menghabiskan waktu di perpustakaan umum. Selain untuk membaca, pelajar dan mahasiswa juga menggunakan perpustakaan untuk belajar dan mengerjakan tugas. Kondisi perpustakaan sangat tenang dan membantu kita untuk fokus berkerja. Orang hanya berbicara seperlunya saja dan dengan volume suara yang rendah. Orang Belgia juga sangat suka membaca di luar perpustakaan. Merupakan pemandangan yang lazim melihat mereka membaca di kereta, kafe, maupun sambil berjemur di musim panas.

Nah setelah mengetahui kemudahan-kemudahan di perpustakaan yang diberikan oleh pemerintah Belgia untuk mendorong minat baca masyarakatnya, izinkan saya untuk sedikit berbagi tentang manfaat yang dirasakan dengan banyak membaca.

Sebagai seorang mahasiswa tentu budaya membaca sangat diperlukan. Pertama kali diperlukan untuk mendapatkan universitas dan beasiswa yang diperlukan. Keunggulan satu universitas dibandingkan dengan universitas lain dan manfaat yang diterima dari beasiswa satu dibandingkan dengan yang lain perlu dipertimbangkan. Telah banyak buku-buku yang diterbitkan oleh para alumni memberikan gambaran bagaimana tips dan strategi untuk mendapatkan universitas dan beasiswa.

Setelah diterima di universitas dan mendapatkan beasiswa tentu saja kita perlu mencari tahu informasi tentang negara tempat universitas itu. Dari mulai untuk mendapatkan visa, ijin tinggal, sejarah, jumlah penduduk, etika, gaya hidup, cuaca, makanan, minuman, dan kebiasaan. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembicaraan saat hangout dengan teman. Tentu saja mereka juga tertarik untuk mendengar cerita dari Indonesia. Jadi pastikan pengetahuan tentang Indonesia juga sama luasnya.

Kehidupan mahasiswa pasti tidak jauh dari membaca buku-buku teks yang tebal dan jurnal-jurnal. Apalagi saat penentukan topik penelitian dan saat tesis, jika tidak suka membaca rasanya menjadi beban yang berat sekali. Lebih jauh terdapat keuntungan lain dengan menjadi mahasiswa di Eropa. Dengan menjadi mahasiswa di Eropa (baca: negara-negara Schengen), kita dapat travelling ke negara-negara Schengen tanpa visa. Memperluas cakrawala dengan travelling ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi adalah salah satu aktivitas yang membuat kita bagian dari komunitas yang terdidik atau beraksara.

Saat magang di FAO1,saya mengobservasi bahwa kebiasaan membaca ini sangat membantu.  Banyak kolega yang harus bekerja dengan membaca banyak sekali buku, jurnal, web page dan dokumen. Semakin banyak membaca, kecepatan dalam membaca dan mengolah informasi yang diperoleh semakin cepat. Selain itu saya juga mengamati bahwa obrolan-obrolan tidak hanya melulu mengenai pekerjaan. Sebagai lembaga yang berisi orang-orang dari seluruh dunia, pembicaraan dan diskusi mengenai politik, ekonomi, hubungan antar negara, berita-berita masa kini, dan sejarah terjadi setiap saat. Jika tidak punya pengetahuan dengan banyak membaca tentang topik yang dibicarakan, dijamin hanya menjadi pendengar setia dan menjadi kuper. Dengan banyak membaca, mereka dapat memberikan komentar dan pendapat terhadap isu-isu sensitif. 

Maukah Indonesia Membaca Buku?

Keberaksaraan atau literacy umumnya dipandang sebagai kemampuan membaca dan menulis. Namun secara bersamaan UNESCO2 menyatakan bahwa konsep keberaksaraan terus berkembang secara komplek dan dinamis sesuai perubahan jaman. Untuk dunia industry, penekanan diberikan pada kecakapan keberaksaraan yang sesuai untuk ekonomi global. Sebagai contoh OECD3 dalam Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC) 2016 mendefinisikan keberaksaraan sebagai “kemampuan untuk mengerti, mengevaluasi, menggunakan dan berinteraksi dengan teks-teks tertulis untuk berpartisipasi dalam masyarakat, mencapai sasaran-sasaran pribadi, dan mengembangkan pengetahuan dan potensi pribadi”. Jadi konteks keberaksaraan juga tidak hanya terfokus pada pribadi melainkan telah meluas menjadi lingkungan dan masyarakat yang beraksara.  

Berbagai usaha untuk memberantas buta aksara dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia telah dilakukan seperti melalui program Pemberantasan Buta Aksara, program kejar paket A, B dan C, program Wajib Belajar 9 tahun yang dilanjutkan dengan program Wajib Belajar 12 tahun, program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), program Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA), sertifikasi guru dan dosen, akreditasi sekolah, dan berbagai program beasiswa. Banyaknya program ini membuat pemberantasan buta aksara di Indonesia sukses. Pada tahun 1945, hanya 3% dari populasi Indonesia yang mengenyam pendidikan formal. Sedangkan di tahun 2015, menurut data UNESCO2, jumlah buta aksara usia 15 tahun keatas sebesar 8 juta jiwa (4,56%) dan berhasil mencapai target Dakar World Education Forum dalam program Education for All (EFA) yaitu menjadikan jumlah buta aksara orang dewasa menjadi setengah di tahun 2015.

Jangan lupa walaupun syarat dasar keberaksaraan adalah kemampuan membaca, yang melibatkan keakuratan dan kecepatan membaca, ternyata itu saja tidak cukup untuk bersaing di dunia globalisasi. Harus disertai dengan kemauan atau minat membaca. Nah bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Jika dibandingkan dengan Belgia, kondisi minat baca bangsa Indonesia jauh memprihatinkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University tahun 2016, Belgia menempati rangking 18 sedangkan Indonesia menempati rangking 60 dari 61 negara. Lebih jauh menurut UNESCO2 dari 1000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius.

Mark Twain mengatakan orang yang tidak mau membaca tidak memiliki keuntungan dibandingkan dengan orang yang tidak bisa membaca. Oleh karena itu, pemerintah akhir-akhir ini sangat berambisi untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Berbagai program dibentuk seperti wajib membaca 15 menit sebelum waktu pembelajaran dimulai (khususnya bagi siswa SD, SMP atau SMA), Gerakan Indonesia Membaca, Gerakan Cinta Buku, raja dan ratu buku di sekolah serta penunjukan Najwa Shihab sebagai Duta Baca Indonesia. Usaha untuk mempermudah akses masyarakat terhadap buku juga digalakkan seperti pembangunan perpustakaan daerah, pengadaan kampung literasi, dan perpustakaan keliling. Lembaga-lembaga profit dan non profit juga turut membantu meningkatkan minat baca di masyarakat dengan mengadakan lomba membaca, book fair, membangun pusat pembelajaran masyarakat berbasis perpustakaan dan mengadakan gerakan donasi buku. Bahkan cukup banyak relawan-relawan daerah yang berusaha untuk mendekatkan buku kepada anak-anak di pelosok.

Pertanyaannya apakah itu cukup untuk membentuk budaya membaca di masyarakat? Tentu belum cukup. Peran keluarga dalam membentuk kebiasaan membaca juga selayaknya diperkuat. Jika anak tidak menyukai membaca ketika muda, kecil kemungkinan mereka menyukai membaca saat dewasa. Keluarga menjadi tempat pertama dan strategis dalam mengenalkan bahwa membaca itu menyenangkan dan membentuk karakter untuk mencintai buku. Kewajiban pemerintahlah untuk mengedukasi orang tua bahwa kebiasaan membaca itu sangat penting untuk masa depan anak. Langkah selanjutnya adalah mengubah kebiasaan di keluarga seperti mengganti dongeng sebelum tidur menjadi membacakan buku sebelum tidur, kebiasaan membaca bersama anak, memberi hadiah buku, dan bagaimana memotivasi anak agar tetap membaca saat tidak ada tugas dari sekolah. Orang tua juga harus menjadi model dengan banyak membaca karena anak-anak sangat suka meniru.

Peran masyarakat dan lingkungan dalam membentuk budaya membaca juga sangat besar. Sungguh cara pandang yang sangat tidak mendidik di Indonesia dengan mengatakan orang yang suka membaca itu tidak gaul, aneh, dan kuper. Kita juga mungkin berpendapat bahwa dengan kemudahan akses internet maka minat baca akan meningkat. Tetapi apa yang masyarakat baca di internet? Facebook, Twitter, Instagram tentu berisi kata-kata, tetapi apakah itu memberi nilai tambah pada pengetahuan kita?

Indonesia harus siap dengan tantangan globalisasi yang semakin kompleks. Saya, anda, dan kita semua adalah agen perubahan untuk budaya membaca. Pengaruhi orang lain untuk membaca dan tunjukkan bahwa apa yang dibaca itu penting. Stephen King mengatakan “Jika kamu tidak memiliki waktu untuk membaca, kamu tidak punya waktu (atau modal) untuk menulis. Sesederhana itu.” Mari bersama kita bisa untuk Indonesia yang lebih baik!

—————-

Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.

*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.

Categories
Artikel

Ghent: Akar tradisi dan Pendidikan Tekstil Eropa

Oleh: Ida Nuramdhani Ph.D (Dosen dan Peneliti pada Politeknik STTT Bandung Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Alumni Ghent University Belgia)

Tekstil. Mendengar kata tersebut, orang mungkin lebih sering mengidentikkannya dengan buruh pabrik, tukang tenun, tukang celup, tukang jahit, dan sejenisnya. Biarpun saya belum pernah melakukan riset terstruktur untuk membuktikan pernyataan tersebut, tapi paling tidak, seperti itulah asosiasi dalam pikiran saya di masa kecil. Saat itu saya bahkan tidak pernah membayangkan bila pada akhirnya masa depan saya bersentuhan dengan dunia tekstil.

Teknologi tekstil bukan menjadi bidang yang populer dalam cakrawala pengetahuan kebanyakan masyarakat di Indonesia. Padahal, bila dilihat dari aspek signifikannya, tekstil berkaitan langsung dengan satu dari tiga kebutuhan primer manusia. Artinya, sepanjang peradaban hidup manusia masih berjalan, maka sepanjang itu pula tekstil harus dan akan tetap eksis. Maka, perkembangan ilmu dan teknologinya pun akan mengiringi tingkat tuntutan akan kebutuhannya. Sebagai contoh, di masa lalu manusia merasa cukup puas berpakaian dengan kain tanpa warna, namun seiring perkembangan zaman, teknologi pewarnaan dan pewarna tekstil turut berkembang, mulai dari hanya satu dua warna sampai mampu membuat semua jenis warna, bahkan hingga warna yang memiliki efek kamuflase atau tidak terdeteksi sinar infra merah untuk bahan tekstil militer pun sudah dapat dibuat.

Kriteria kualitas bahan yang digunakan juga terus berkembang, dari mulai yang mendasar seperti sifat tahan kusut, tahan luntur, tahan api, tahan air, dan seterusnya, hingga yang lebih bersifat fungsional dan fancy seperti anti bakteri, anti sinar UV, anti bau, hingga yang memiliki sifat sebagai sensor, yang di antaranya dikelompokkan dalam bidang tersendiri yang disebut smart atau intelliGhent textiles. Uraian singkat dan pastinya tidak komprehensif di atas, sebetulnya hanya untuk menggambarkan bahwa di dunia luar, ilmu dan teknologi tekstil berkembang cukup pesat dan menjanjikan. Secara teknologi, tekstil bahkan telah mulai dikembangkan pula ke area non-sandang, seperti bidang otomotif, medis, dan yang disebut tekstil maju (advanced textiles) lainnya. Namun, mengapa area teknologi maju kelihatannya belum cukup berkembang di Indonesia, baik dalam level pendidikan, penelitian, maupun industri? Sebuah pertanyaan retoris yang kadang memang sangat sulit untuk dijawab.

Kembali pada cerita tentang akar industri tekstil di Belgia, sejarah mencatat bahwa tekstil merupakan salah satu industri prioritas di Belgia sejak masa abad pertengahan. Hingga sekitar abad ke-19, kota Ghent menjadi pusat industri wol, serta produksi tekstil dan pakaian yang paling diperhitungkan di Eropa. Dengan lokasi yang merupakan pertemuan dua sungai yang menghubungkan antar kota di hampir seluruh daratan Eropa serta dekat ke pelabuhan, aktivitas perdagangan pun semakin terdorong dan membawa kemajuan pesat bagi negara Belgia sejak revolusi industri terjadi. Saat itu, industri mesin pertenunan modern pun pertama kali diperkenalkan di Ghent. Bahkan, sejak wilayah Ghent dikuasai pemerintah kerajaan Belanda, hubungan perdagangan dengan Indonesia yang saat itu dikenal dengan nama Hindia Belanda yang juga berada di bawah kekuasaan kolonial kala itu, sempat terbangun sangat baik.

Saat Universiteit Gent didirikan, teknologi tekstil termasuk salah satu program studi unggulan dan yang cukup kuat. Berbagai pusat penelitian dan inovasi tekstil didirikan, terutama untuk mendukung kemajuan industri saat itu. Hingga sekarang, di Belgia, khususnya di Ghent, pendidikan dan penelitian di bidang tekstil masih terus berlanjut dan dikembangkan. Beberapa industri mesin tekstil Belgia masih cukup kuat, meskipun aktivitas industri proses tekstil bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Pabrik tekstil konvensional yang terakhir di kota Ghent ditutup pada sekitar akhir 90-an. Dalam konteks perkembangan ilmu dan teknologi tekstil, istilah industri tekstil konvensional identik dengan industri tekstil sandang yang menjalankan proses pengolahan serat hingga menjadi kain yang digunakan untuk proses produksi garmen, melalui proses-proses seperti pemintalan, pertenunan, pencelupan, pencapan, penyempurnaan, termasuk proses-proses khusus lainnya. Industri tekstil Belgia saat ini diarahkan pada area tekstil maju yang tidak memerlukan lahan pabrik sangat besar, jumlah pekerja yang banyak, dan juga proses produksi yang menghasilkan limbah buangan yang berisiko terhadap lingkungan. Hal itu pula yang terjadi di banyak negara maju lainnya.

Dengan fakta bahwa pusat industri tekstil konvensional saat ini bergeser ke negara-negara di Asia termasuk Indonesia, pendidikan tekstil di Ghent justru masih cukup mengakar dan dipertahankan. Hanya saja, UGhent yang merupakan research university saat ini hanya menyelenggarakan pendidikan tingkat S-2 ke atas, sedangkan pendidikan setingkat sarjana yang juga masih memasukkan penguasaan terhadap teknologi proses konvensional lebih diarahkan pada pendidikan terapan (vocational) yang diselenggarakan oleh HoGhent (Hogeschool Ghent, atau University College Ghent). Di UGhent pula, Autex (Association of Universities for Textiles), yang merupakan asosiasi yang beranggotakan universitas-universitas penyelenggara pendidikan dan penelitian di bidang tekstil berpusat.

Selain berkolaborasi dalam menentukan arah pengembangan ilmu dan teknologi, termasuk menyelenggarakan forum ilmiah berbentuk konferensi internasional di bidang tekstil secara bergilir di negara-negara anggotanya, Autex juga melakukan sebuah inovasi pendidikan yang semestinya dapat menjadi alternatif model pendidikan. Autex yang berbasis di UGhent merupakan penyelenggara program international master yang disebut dengan E-TEAM (European Masters Degree in Advanced Textile Engineering). Gambaran sederhana program E-TEAM adalah pendidikan master di bidang tekstil yang diselenggarakan secara kolaboratif oleh universitas-universitas anggota AUTEX. Pengajarnya adalah para profesor ahli di bidang masing-masing dari lintas universitas, termasuk tempat penyelenggaraan pendidikan pun berpindah-pindah negara setiap semesternya. Hal ini selain memberi kesempatan pada peserta berupa pengalaman tinggal di beberapa negara yang berbeda sepanjang masa pendidikannya, juga memberi gambaran nyata mengenai special expertise yang dimiliki oleh masing-masing universitas penyelenggara pendidikan tekstil.

Dengan perluasan makna di bidang ilmu dan teknologi tekstil yang sudah dimulai sejak kurang lebih 10-20 tahun terakhir, pendidikan dan penelitian tekstil di negara-negara maju termasuk Belgia mulai memasuki wilayah advanced textiles yang multidisipliner. Di Eropa, penelitian bidang smart textiles sudah dikembangkan hingga pada tahap prototipe. Smart textile adalah salah satu cabang ilmu dan teknologi tekstil maju yang pada proses pengembangan wearable textile dengan sifat-sifat cerdas dan fungsional seperti memiliki kemampuan sensor, atau antena, bahkan hingga pengembangan energy storage berbasis bahan tekstil. Beberapa sudah diaplikasikan dalam skala industri dan sudah masuk tahap komersialisasi. Penelitiannya pun masih dikembangkan secara intensif.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia, sepertinya masih cukup tertinggal dalam hal pengembangan penelitian dan pendidikan bidang teknologi tekstil maju, meskipun beberapa sudah mulai diperkenalkan. Padahal, ditinjau dari latar belakang sejarah dan perkembangan industrinya hingga hari ini, tidak seharusnya Indonesia mengalami ketertinggalan tersebut. Ditambah lagi, hingga saat ini belum ada satu pun penyelenggara pendidikan magister dan doktoral yang berfokus secara khusus di bidang tekstil di dalam negeri. Hal ini pula yang menjelaskan, mengapa saya begitu teguh pada keinginan untuk melanjutkan pendidikan doktoral bidang tekstil di luar negeri, yang pilihannya akhirnya saya jatuhkan ke UGhent di Belgia. Meskipun pada awalnya keinginan tersebut secara kasat mata kadang lebih terbaca seperti mimpi yang tidak biasa. Tidak biasa karena tekstil adalah bidang yang tidak populer, dan juga bukan mainstream. Tidak biasa juga karena berbagai latar belakang nonteknis terkait alasan-alasan pribadi yang sudah diceritakan sebelumnya. Namun tekad untuk berani menempuh jalan panjang yang tidak mudah hingga ke belahan bumi utara ini semoga pada waktunya nanti akan menghasilkan sesuatu yang dapat menjadi inspirasi dan juga katalis bagi lompatan kemajuan industri dan pendidikan tekstil di Indonesia.

Indonesia, khususnya kota Bandung, bisa dikatakan memiliki akar sejarah tekstil yang hampir sama dengan kota Ghent di Belgia, meskipun dengan starting point yang berbeda karena sejarah kemerdekaan yang dari segi waktu terpaut jauh. Di masa lalu, cikal bakal industri tekstil Indonesia tumbuh dari pinggiran kota Bandung. Hingga saat ini, wilayah Bandung dan lebih luas lagi Jawa Barat, sepertinya masih menjadi pusat industri tekstil terbesar di Indonesia. Cikal bakal lembaga pendidikan tekstil Indonesia bernama TIB yang didirikan di masa kolonialisme oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922, juga berlokasi di kota Bandung, yang setelah mengalami perubahan berkali-kali, saat ini bernama Politeknik STT Tekstil. Bahkan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), pertama kali diciptakan pada tahun 1926 oleh Daalenoord, salah seorang ahli tekstil dari Textiel Inrichting en Batik Proofstation Bandoeng (TIB). Majalaya, salah satu pionir sentra industri tekstil di Indonesia, adalah tempat ATBM pertama kali didemonstrasikan oleh Bupati Bandung kala itu.

Pada era tahun 80-90-an, industri tekstil Indonesia sempat menjadi salah satu primadona penyokong pembangunan bangsa. Namun, hibernasi pun sepertinya sempat dialami industri ini, terutama pendidikan dan penelitiannya, terlebih dengan kesalahan besar pihak tertentu yang pernah menyebut tekstil sebagai sunset industry. Akan tetapi nyatanya, hingga hari ini, industri tekstil dan produk tekstil masih dibutuhkan untuk tumbuh di negeri ini. Sebagai industri padat karya, perannya terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat pun tentu sangat signifikan. Terlebih dengan fakta bahwa sampai sekarang, tekstil masih masuk ke dalam lima besar sektor nonmigas penyumbang devisa terbesar bagi pendapatan negara, maka industri ini sepertinya masih akan terus menjadi salah satu industri prioritas hingga puluhan tahun ke depan. Maka tidaklah berlebihan bila pendidikan dan riset di bidang tekstil masih dianggap sangat perlu dikembangkan untuk mendukung keberlangsungan aktivitas industri tersebut.

Dengan jumlah industri tekstil yang masih besar dan kuat, yang berarti tingkat kebutuhan tenaga kerjanya pun tinggi, Indonesia hanya memiliki satu perguruan tinggi tekstil milik pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan setingkat sarjana, disamping beberapa lainnya yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi swasta dengan level D-3 ke bawah, yang jumlahnya pun tidak habis dihitung dengan jari tangan. Bahkan, eksistensi pendidikan tekstil pun pernah ada  dalam situasi “terancam” dibubarkan karena ada perbedaan mindset beberapa pihak mengenai posisi keilmuan tekstil dalam rumpun ilmu pengetahuan yang berlaku di Indonesia. Sebuah ironi yang memang sering terjadi di tanah air. Padahal bila berkaca pada negara lain, bahkan negara-negara maju yang industri tekstilnya sudah tidak eksis lagi sekalipun, seperti di Belgia dan New Zealand, program studi tekstil masih bertahan dan bahkan berkembang dengan cukup baik di universitas-universitas ternama di negara-negara tersebut. Termasuk di beberapa negara tetangga yang juga tidak memiliki industri tekstil sepopuler Indonesia seperti Singapura dan Malaysia. Lebih jauh lagi bila kita membandingkannya dengan India dan Tiongkok, misalnya. Industri dan pendidikan tekstil berkembang secara paralel dengan sangat baik di negara-negara tersebut. Ada puluhan universitas yang menyelenggarakan program studi tekstil dengan tingkat minat mahasiswa yang masih sangat tinggi.

Kolaborasi penelitian dengan negara lain seperti Belgia perlu semakin dikembangkan untuk mempercepat proses alih teknologi di bidang tekstil, walau teknologi proses untuk mendukung eksistensi industri tekstil konvensional masih tetap dibutuhkan dan perlu dipertahankan. Indonesia bahkan seharusnya dapat mengambil alih posisi sebagai center of excellence di bidang teknologi proses tekstil karena kemudahan bersinergi dengan industri yang ada. Sebagai tambahan, beradaptasi dengan kebutuhan akan perlunya industri yang ramah lingkungan, juga harus mendapat perhatian cukup.

——-

Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.

*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.

Categories
Artikel

Belgia Dulu dan Jejaknya Kini

Oleh: Galuh Syahbana Indraprahasta, Ph.D (Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Alumni Ghent University Belgia)

Perkembangan kota-kota di Belgia, beserta Belgia sendiri sebagai suatu negara berdaulat, tidak dapat dipisahkan dari aspek sejarah yang melekat dan membentuknya. ‘Benelux’, atau Belgium-Netherlands-Luxemburg, pada masanya pernah mejadi suatu kesatuan wilayah. Pada waktu Belanda mendatangi Indonesia untuk pertama kali (antara akhir abad ke-16 di Banten dan awal abad ke-17 di Ambon), Benelux (plus sebagian kecil wilayah utara Perancis sekarang) masih merupakan satu kesatuan wilayah dibawah imperium Perancis (dan sebagian Prusia/Jerman) dengan nama ‘Burgundian Netherlands’. Peruntungan nasib wilayah ini berubah setelah peperangan yang berkepanjangan selama beberapa abad; membuat wilayah ini terpecah menjadi dua, yaitu ‘Dutch Republic’ (awal mula wilayah negara Belanda) dan ‘Southern Netherlands’ (awal mula wilayah negara Belgia dan Luxemburg), tepatnya pada pertengahan abad ke-17. Meski Belgia sempat kembali menjadi bagian dari Perancis semasa ‘Revolusi Perancis’, negara ini kembali bersatu dengan Belanda setelah kekalahan Perancis pada tahun 1814. Nama negara unifikasi Benelux lama pada waktu itu adalah ‘United Kingdom of the Netherlands’. Namun, dengan terjadinya revolusi Belgia pada rentang 1830-1839, negara terakhir ini juga tidak berumur panjang dan menyebabkan terbentuknya 3 negara baru, yaitu Belanda, Belgia, dan Luxemburg. Tidak mengherankan jika sampai saat ini, dalam kaitannya dengan bahasa, ada relasi kuat antara negeri Belanda dengan Belgia bagian utara (Flanders); begitupun antara Belgia bagian selatan (Wallonia) dengan Luxemburg dan Perancis.

Eropa daratan pada masanya, terlebih sebelum dunia baru Amerika Serikat mapan dan Jepang masih asyik dengan politik tertutupnya, menjadi pusat dari peradaban dunia: ekonomi dan pengetahuan. Belanda, negara yang begitu dekat di telinga kita, pernah menjadi pusat peradaban dunia di eranya pada abad ke-17/18, tepat saat dia dengan pede-nya melakukan ekspansi ke Nusantara. Amsterdam menjadi mimpi bagi setiap pengembara dan pengejar rente dunia (layaknya Manhattan NY saat ini sebagai pusat kapitalisme modern), begitupun dengan Antwerpen (Belgia) yang menjadi pelabuhan terbesar saat itu. Sungguh, jika kita berkesempatan berkunjung ke Antwerpen, jangan lupa untuk mampir ke stasiun kereta apinya yang begitu tersohor. Tidak mengherankan jika stasiun ini termasuk salah satu yang paling indah di dunia, silakan saja googlinguntuk mengkonfirmasi legasi ini. Belgia, apapun nama yang melekat pada zaman itu, telah menjadi besar pada masanya, seiring dengan berkembangnya wilayah ‘Belanda kuno’ serta kebangkitan Eropa di Abad Pertengahan. Bahkan sebelum Belanda mempunyai universitasnya sendiri (Universiteit Leiden, universitas pertama di Belanda, berdiri tahun 1575), masyarakatnya ramai mengunjungi Belgia, khususnya Leuven, untuk menimba ilmu di Katholieke Universiteit Leuven (universitas pertama di Belgia, berdiri tahun 1425), perguruan tinggi yang sampai sekarang masih tegak berkibar. Leuven sampai saat ini masih menjadi kota mungil yang hidup karena keberadaan mahasiswanya, bahkan dengan proporsi yang tidak beda jauh dengan jumlah penduduk yang benar-benar tinggal di sana.

Di antara cerita masa lampau tersebut, momentum utama kejayaan Belgia pasca menjadi negara berdaulat adalah ketika revolusi industri mewabah seantro Eropa Barat. Contoh paling konkrit dari masa awal industrialiasi ini adalah Belgia merupakan negara kedua, setelah Kerajaan Inggris, yang memasuki revolusi industri dengan beragam jenis industri yang berkembang, terutama, seperti halnya Inggris, tekstil. Tidak disangka nyana bahwa negara yang tidak lebih luas dari pulau Jawa ini menjadi lentera bagi Eropa daratan. Yup, sebelum kita semua mengenal segala kompleksitas industri dijital yang saat ini menguasai dunia dengan beragam merk dari, terutama, Jepang dan Amerika Serikat (a.l. Apple, Matsushita, Google, Facebook, Sony, Yahoo!), jejak revolusi industri dimulai dari tekstil serta beragam industri permesinan dan pertambangan. Sejatinya industri tekstil dan turunan definisinya tidak pernah mati sampai sekarang, hanya berdiversifikasi dan berganti epicentrum. Persaingan Nike dengan Adidas, beserta dengan tawaran teknologi mutakhirnya di beragam apparel olahraga, merupakan salah satu contoh bagaimana industri ini masih memikat dan terus berkembang.

Perkembangan ekonomi dan industrialisasi Belgia yang signifikan kemudian mendorong beberapa kotanya menjadi pusat dari peradaban modern dan tetap meninggalkan jejaknya hingga saat ini. Sebagai contoh, Gent merupakan kota industri utama pada masa jayanya sampai akhir abad ke-19, begitupun dengan Liège dan Charleroi yang sempat menjadi pusat industri baja Eropa sampai sebelum Perang Dunia II. Sebagai salah satu jejak kejayaannya, Université de Liège saat ini menjadi tempat menarik bagi beberapa mahasiswa Indonesia (dan mahasiswa dari negara lainnya) untuk menimba ilmu di bidang metalurgi, pertambangan, dan sejenisnya. Adapun Charleroi menjadi hub Belgia untuk Eropa saat ini, terutama dengan keberadaan bandar udara khusus low-cost carrier, Ryan Air, sebuah maskapai yang tampaknya Air Asia coba tiru untuk regional Asia Pasifik. Kedua kota ini masih tetap menjadi salah satu pusat industri Belgia saat ini, terutama di dalam silion industriel (kawasan industri). Begitupun Gent, dengan perkembangan industri tekstil yang tidak pernah tampak berhenti, membuat Universiteit Gent menjadi salah satu tujuan belajar bagi banyak mahasiswa, termasuk dalam bidang tersebut.

Melihat negeri Belgia saat ini dimana antarkotanya dihubungakan dengan jaringan kereta api yang sangat mapan, juga tidak bisa dilepaskan dari masa revolusi industri di atas. Dengan berkembangnya teknologi uap, baja, dan kebutuhan akan distribusi (produksi dan pasar) yang cepat saat itu, Belgia memberikan perhatian besar terhadap pembangunan jaringan transportasi, termasuk kereta api. Bahkan, Belgia merupakan salah satu pusat utama pengembangan kereta api di Eropa daratan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1835, Léopold I (Raja Belgia saat itu) membangun jaringan kereta api pertama di Eropa daratan, menghubungkan antara Brussel dan Mechelen. Begitupun dengan jaringan dalam kotanya, jaringan tram dibangun di beberapa kota besar. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Belgia untuk menjadi pemain utama khususnya dalam bidang perkeretaapian. Pada awal tahun 1900an, Belgia telah menjadi salah satu eksportir utama (baik material dan sistem) perkeretaapian (termasuk tram) ke banyak negara, termasuk beberapa negara di Amerika Selatan, China, Mesir, Kongo, dan termasuk pengembangan jaringan metro/subway Paris (Paris Métro).

Belgia juga mengembangkan jaringan infrastruktur lainnya, seperti pelabuhan dan kanal yang sebenarnya sudah berkembang jauh sebelum kereta api muncul. Secara garis besar, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu fokus utama mengingat ekonomi Belgia sangat tergantung dengan negara lainnya, baik dari sisi perdagangan (ekspor dan impor) maupun mobilitas manusia, pengetahuan, dan lainnya. Sebagai contoh, saat ini pelabuhan Antwerpen merupakan pelabuhan terbesar kedua di Eropa setelah Rotterdam dari sisi volume kargo. Selain merupakan kota pelabuhan utama Belgia yang memiliki sejarah panjang dengan Afrika, Antwerpen juga merupakan kota permata terbesar di dunia. Sebagai catatan, permata juga menjadi komoditi ekspor utama Belgia, meskipun bahan bakunya didapatkan dari negeri-negeri seberang lautan. Dengan keunggulan lokasional ini, Universiteit Antwerp merupakan salah satu institusi yang menawarkan keunggulan keilmuan di bidang kemaritiman, baik dari sisi engineering, manajemen, maupun ekonomi. Selain Antwerpen, Brugge dan Gent juga memiliki pelabuhan terbesar, secara berurutan, kedua dan ketiga di Belgia, dengan spesifikasi peruntukan yang berbeda-beda. Brugge, kota mungil dan turis nomor satu di Belgia, merupakan pelabuhan Eropa terbesar untuk lalu-lintas RoRo (roll-on/roll-off) dan gas alam. Kota Brugge ini juga sempat mampir sebagai latar utama di film Bollywood ‘PK’ karya Amir Khan yang tayang dan booming pada tahun 2014. Memang keindahan kota ini tiada tara. Anda bahkan bisa membayar toilet dengan British poundsterling untuk memfasilitasi membludaknya pelancong dari negeri Ratu Elizabeth.        

Selain itu, dengan masa industrialisasi yang sudah berubah dengan cepat dan Eropa yang telah memasuki masa ‘post-industrial economy’, terutama pasca restrukturisasi ekonomi global pada tahun 1970an, perkembangan ekonomi Belgia juga banyak mengalami perubahan. Dalam catatan resmi, sekitar 74% dari produk domestk bruto (PDB) Belgia saat ini disumbangkan oleh sektor jasa. Industri tetap ada dan berlokasi di beberapa daerah, khususnya yang didesain sebagai kawasan industri. Adapun kebanyakan dari aktivitas industri ini, sudah lebih berorientasi pada aktivitas penelitian dan pengembangan (R&D). Oleh karena itu, beberapa kampus seperti Universiteit Gent, Katholieke Universiteit Leuven, dan universitas lainnya menjalin hubungan erat dengan industri-industri yang ada. Inilah yang kemudian kita sering sebut sebagai ‘knowledge-based economy’, ekonomi yang didorong oleh pengetahuan dan inovasi. Adapun divisi ‘kerah-biru (blue-collar)’ dari industri, alias pabrik-pabrik, sudah banyak ber(re)lokasi ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mengejar biaya produksi (termasuk buruh) yang jauh lebih murah dan pasar yang tumbuh mekar. Seperti banyak orang saksikan, Greater Jakarta (Jabodetabek dan sekitarnya) menjadi epicentrum dari para kerah-biru awal abad ke-21; menyajikan pemandangan pabrik, truk tronton, dan demonstrasi buruh sebagai ekspresi ruang sosial-ekonomi sehari-hari; terkadang membuat stres para pelancong ibukota yang ingin mampir ke Bandung. Sayang sekali, di Indonesia, antara industri dan lembaga produksi pengetahuan (universitas dan lembaga litbang) masih berada dalam meja yang berbeda.

Secara ekonomi mungkin Eropa sudah mengalami masa post-industry, tetapi secara maknawi aktivitasnya menjadi lebih high-end, termasuk sebagai pusat R&D, maupun broker perdagangan. Dan memang dengan pergeseran ini, Belgia tampak tidak menjadi satu-satunya pemain utama dalam industri dunia, kecuali industri cokelat dan beragam produk bio-science-engineering. Persaingan semakin ketat dan negara-negara baru bermunculan, termasuk Asia Timur yang semakin mendominasi, khususnya dalam bidang elektronik dan otomotif. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah Brussel yang menjadi pusat dari broker ekonomi dan politik. Beragam deal perdagangan, industri, dan politik tampaknya menjadi fungsi terbaru Belgia di tengah jantung Eropa, maupun antara Eropa dengan Amerika dan Asia. Kota-kota di Belgia lainnya, seperti diceritakan secara singkat, berkembang berkombinasi dengan sejarah masa lampau. Brussel menjadi hub Eropa dan tempat bertemunya 4 kereta cepat berbeda merk (Thalys, Eurostar, TGV, dan ICE). Antwerpen tetap angkuh sebagai kota pelabuhan utama, Gent menjadi kota kreatif UNESCO dalam musik, Brugge menjadi daya tarik utama wisata, Liège menjadi peradaban utama di Wallonia (bagian berbahasa Perancis), Charleroi masih tertatih dengan transisi industri dan berupaya mempertahankan fungsi hub-nya, dan Leuven tetap mungil sebagai kota akademik. Begitupun dengan banyak kota-kota lainnya yang telah secara sengaja saya plutonisasi dalam cerita di buku ini. Satu hal yang pasti, antarkota saling berteman, dikoneksikan dengan jaringan transportasi yang mapan; dan Brussel sebagai ibu dari kota-kota yang ada, mengkoneksikan dirinya pada jaringan yang lebih luas, menjadi simbol dari politik-ekonomi Belgia yang secara gradual terus berubah.

——-

Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.

*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.

Categories
Artikel

Jago Bahasa Perancis, bisa dari Belgia

Oleh : Andriarto Andradjati (Pendiri dan Pengajar Kursus Bahasa Perancis “OPERA – Obrol Perancis”, Alumni Athénée Royal Crommelynck de Woluwe Saint – Pierre, Brussel)

Mungkin belum diketahui secara umum oleh banyak orang Indonesia bahwa Belgia juga negara berbahasa Perancis. Lebih dari 20 tahun lalu, pada 1997 – 1998 saya belajar bahasa Perancis untuk pertama kalinya guna pergi ke Belgia, bukan ke Perancis. Saya dikursuskan oleh ayah saya karena karena saya akan ikut beliau bertugas sebagai diplomat Indonesia di Brussel. Waktu itu saya masih kelas 5 SD. Les tersebut saya jalani selama sekitar dua bulan di Alliance Française Cabang Bogor (kini sudah tiada).

Ternyata, sesampainya saya di Belgia pada awal tahun 1998, ada dua hal yang masih menjadi kekurangan saya : 1) kursus selama 2 bulan belum cukup untuk bisa berbicara dan mengerti bahasa Perancis ; 2) saya belum tahu bahwa bahasa Perancis ternyata memiliki varian. Bahasa Perancis di Belgia tidak sepenuhnya sama dengan di Perancis. Sementara sewaktu masih di Indonesia, oleh guru Alliance Française saya hanya diajari bahasa Perancis Perancis. Maka, sesampainya di Belgia, saya kaget saat mendengar dan melihat kosa kata yang berbeda untuk maksud kata yang sama dengan di bahasa Perancis Perancis.

Kosa kata yang pertama kali mengejutkan saya adalah “septante”, angka 70 dalam bahasa Perancis Belgia. Septante adalah tujuh puluh, seventy dalam bahasa Inggris. Sedangkan di catatan pelajaran saya dari Alliance Française, saya diajarinya “soixante – dix”. Begitulah istilah 70 dalam bahasa Perancis Perancis. Terjemahan tekstualnya enam puluh sepuluh (60 + 10). Kemudian 90 di bahasa Perancis Belgia adalah “nonante” (sembilan puluh). Sedangkan di bahasa Perancis Perancis istilahnya “quatre – vingt – dix” (4 (quatre) x 20 (vingt) + 10 (dix) atau juga 80 (quatre – vingts) + 10 (dix)).

Dampak dari kemampuan bahasa Perancis saya yang masih relatif nihil, saya gagal naik kelas. Saya tinggal kelas di kelas 5 SD dan oleh sekolah saya, École Communale La Fermette de Wezembeek – Oppem, saya disuruh ambil kursus bahasa Perancis selama libur musim panas Juli – Agustus 1998. Memang, ayah saya menyarankan ambil sekolah lokal yang frankofon (berbahasa Perancis) daripada yang néerlandophone (berbahasa Belanda). Sebab menurut pertimbangan beliau, bahasa Perancis lebih dipakai di dunia internasional daripada bahasa Belanda. Ada dampak lain dari kemampuan linguistik masih nihil saya. Kala ibu pemilik rumah yang kami sewa datang saat ayah saya sedang tidak ada di rumah, saya tidak bisa mengerti hal yang madame tersebut sampaikan. Beliau tidak bisa berbahasa Inggris. Hanya bisa bahasa Belanda dan Perancis. Bahasa Belanda saya lebih tidak bisa dibandingkan bahasa Perancis. Sebab, kala itu saya sama sekali belum pernah mempelajarinya selain via pelajaran seminggu sekali di sekolah.

Akhirnya, saya pun mengikuti arahan dari sekolah saya. Pada bulan Juli dan Agustus 1998, saya kursus bahasa Perancis di Institut de Formation de Cadres pour le Développement (IFCAD) di ibukota Brussel. Ditambah dengan mengulang kelas 5 SD, saya lambat laun makin bisa bahasa Perancis. Pada April tahun 2000 saat kelas 6 SD, saya diambil jadi wakil sekolah saya pada lomba dikte bahasa Perancis nasional Belgia, La Dictée du Balfroid. Luar biasa, saya berhasil melaju sampai babak semi final ! Dari tadinya zéro pada 1998 akhirnya menjadi héros pada tahun 2000 !

Sesudah lulus dari SD La Fermette, saya lanjut ke tingkat SMP di Athénée Royal Crommelynck di Commune Woluwe Saint – Pierre, di ibukota Brussel. Saya bersekolah di situ hingga pulang kembali ke Indonesia pada tahun 2002. Di Athénée Royal Crommelynck, saya belajar satu bahasa asing lainnya yaitu bahasa Latin. Sehingga, dari pengalaman tinggal di Belgia, saya jadi membawa ilmu tiga bahasa berbeda : bahasa Perancis, bahasa Belanda dan bahasa Latin. Adapun bahasa Jerman, bahasa resmi ke – tiga negara Belgia, sudah pernah saya pelajari sebelumnya saat ayah saya ditugaskan di Wina, Austria. Di Belgia sendiri hanya sempat saya gunakan sebentar di École La Fermette ketika wali kelas saya pada awalnya mencoba menjelaskan ke saya pakai bahasa Jerman. Selebihnya, saya tidak pernah menggunakannya mengingat orang germanophone di Belgia juga sedikit sekali jumlahnya. Bahasa Inggris ? Secara umum saya bisa tapi di Belgia nyaris tak pernah terpakai. Hanya bahasa Perancis dan sedikit bahasa Belanda.

Sepulang dari Belgia, saya sempat mendaftar lanjut SMP di Lycée Français di Cipete, Jakarta. Sebabnya, saya ingin stabilitas bisa melanjutkan studi pakai bahasa yang sudah empat tahun saya pergunakan (bahasa Perancis). Rupanya, saya tak diterima. Sebab, saya orang yang bisa bersekolah di sekolah lokal (sekolah berbahasa Indonesia). Saya bukan orang prioritas yang tak punya opsi selain bersekolah dalam bahasa Perancis. Tapi, saya sempat menjalani tes masuk Lycée Français. Di situ, ada seorang calon siswi asal Jepang. Saat sedang mengerjakan tesnya, dia ditanya oleh pengawas mengapa dirinya menggunakan kata “nonante”. Padahal, di bahasa Perancis Perancis kan istilahnya “quatre – vingt – dix”. Siswi itu menjawab bahwa “nonante” adalah istilah 90 yang dia gunakan saat dulu tinggal di Swiss. Dari situ, saya jadi dapat pengetahuan bahwa ternyata Swiss juga memiliki varian bahasa Perancis yang berbeda dari negara Perancis. Rupanya ada kosa kata yang sama dengan bahasa Perancis Belgia.

Tak diterima oleh Lycée Français, saya jadi berpisah cukup lama dengan bahasa Perancis. Bahasa tersebut hanya saya gunakan dari waktu ke waktu untuk mengobrol dengan adik saya, di samping bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Saya baru benar – benar menggunakannya lagi pada 2015 setelah membuka dan mengajar kursus bahasa Perancis di lembaga milik saya sendiri di Bogor : OPERA – Obrol Perancis. Berbeda dari banyak lembaga kursus lainnya di Indonesia, OPERA punya keunikan yaitu mengajarkan empat bahasa Perancis sekaligus : bahasa Perancis Perancis, Perancis Belgia, Perancis Swiss dan Perancis Kanada. Saya telah menjadi seorang pengajar yang punya kemampuan 4 bahasa Perancis berbeda. Ini langka di Indonesia !

Dari mana saya bisa bahasa Perancis Kanada ? Saat masih di Belgia, pada tahun 2001 saya sempat liburan bersama keluarga ke Kanada, negara kelahiran saya. Di situ kami sempat ke Provinsi Québec dan saya terkejut mendapati bahasa Perancis di sana beda dari bahasa Perancis Belgia maupun bahasa Perancis Perancis. Kosa kata dan logatnya ada yang tak sama. Itu yang membuat saya kian tahu ternyata bahasa Perancis itu tidak hanya ada bahasa Perancis Perancis. Bahkan setelah saya membaca referensi lebih lanjut, ternyata bahasa Perancis Belgia juga go international sebagaimana bahasa Perancis Perancis. Ini disebabkan Belgia dan Perancis sama – sama menjajah berbagai negara sembari membawa bahasa Perancisnya masing – masing.

Selama menjalani profesi di OPERA sejak 2015, saya sudah memiliki beragam alumni. Murid pertama OPERA sukses tembus beasiswa Universitas Sorbonne, Paris pada 2017. Lalu, ada juga murid yang merupakan diplomat muda Indonesia yang berdinas di KBRI Tunis. Sebelumnya dirinya ditugaskan di KBRI Ottawa, Kanada. Lalu, pada Februari 2019 OPERA memberi pelatihan bahasa Perancis di Pusdiklat Kementerian Luar Negeri. Selain itu, ada juga murid yang lanjut sekolah di Montréal, Québec, Kanada. Ada pula yang kuliah ke Universitas Reims, Perancis. Kini, ada pula yang belajar bahasa Perancis karena akan kuliah mode di Paris. Berkat belajar di OPERA, mereka semua jadi punya kemampuan bicara empat bahasa Perancis berbeda seperti halnya saya.

Tak hanya itu, sebagian dari mereka pun berhasil saya bimbing hingga lulus berbagai level Tes DELF, tes sertifikasi internasional bahasa Perancis semacam TOEFL atau IELTS di bahasa Inggris. DELF adalah singkatan dari Diplôme d’Études en Langue Française (Diploma Studi Bahasa Perancis) dan merupakan tes untuk tingkat pemula hingga menengah. Yang tingkat mahir, tesnya adalah DALF (Diplôme Approfondi en Langue Française (Diploma Mendalam Bahasa Perancis)).

Uniknya, saya berhasil meluluskan sebagian murid saya pada Tes DELF saat saya belum pernah mengambil tes itu sendiri ! Bahkan, alumni OPERA yang lanjut sekolah ke Montréal, Québec, Kanada, memukai penguji DELF level B1 dengan mempraktekkan empat bahasa Perancis sekaligus pada tes speaking : bahasa Perancis Perancis, bahasa Perancis Belgia, bahasa Perancis Swiss dan bahasa Perancis Kanada. Nilai speakingnya pun mendekati sempurna !

Setelah murid pertama saya pergi ke Sorbonne, saya akhirnya mengambil Tes DELF dan DALF selevel demi selevel. Hasilnya, saya meraih prestasi fantastis ! Saya empat kali sukses meraih skor tertinggi DELF dan DALF se-Indonesia ! Bahkan pada DALF level C1, saya menjadi satu – satunya peserta yang lulus dari lokasi ujian di IFI Thamrin (Institut Français d’Indonésie cabang Thamrin, Jakarta Pusat). Tak hanya itu, selama saya mengambil Tes DELF dan DALF, saya berulang kali ditanya belajar bahasa Perancis di mana serta apakah saya murid kursus IFI. Saking terpukaunya para penguji dan sekretariat IFI Thamrin pada saya. Saya pun lantas memperoleh penghargaan Certificat d’Excellence DELF dan DALF dari IFI sebanyak empat kali.

Uniknya, kemampuan bahasa Perancis saya yang mantap diperoleh dari hasil tinggal dan sekolah di Belgia, bukan di Perancis ! Ini menunjukkan bahwa kita bisa jago bahasa Perancis dari negara frankofon manapun di dunia. Kuncinya adalah tekun dan sabar mau belajar semuanya dari nol. Ditambah dengan potensi di bidang bahasa, maka hasil kita bisa mantap. Pengalaman saya memperlihatkan proses yang tidak instan untuk meraih prestasi. Saya sangat bersyukur pernah tinggal di Belgia. Saya juga bangga bisa turut mengharumkan barisan alumni Belgia dengan bidang yang tak lepas dari identitas Belgia. Bahkan lulus kuliah S1 pun topik skripsi saya tentang Belgia. Rasanya saya amat menikmati pengalaman tinggal di sana.

Semoga pengalaman yang saya bagikan bisa menjadi inspirasi dan dorongan semangat bagi teman – teman semua. Semoga kita semua bisa meraih kesuksesan dan berkontribuasi dari bidang kita masing – masing. Sebab kalau saya bisa, mudah – mudahan teman – teman sekalian juga bisa ! Bismillah, bonne chance et bon courage !  

——-

Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.

Categories
Artikel

Food makes human beings human

Oleh: Dr. Dwi Larasatie Nur Fibri, S.TP., M.Sc (Sekretaris Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada, Bendahara Umum Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Alumni KAHO Sint-Lieven, Belgia)

Ilmu Pangan masih merupakan disiplin ilmu yang masih asing bagi kebanyakan orang. Padahal ilmu pangan merupakan displin ilmu yang sangat penting karena manusia akan selalu membutuhkan pangan sepanjang hidupnya. Sehingga ilmu dan teknologi pangan diperkirakan akan terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman.

Ilmu dan teknologi pangan bermula saat Nicholas Appert, seorang koki dari Perancis, mengembangkan proses pengemasan dengan menggunakan bahan dari gelas pada tahun 1784. Kemudian Louis Pasteur berkontribusi dalam bidang mikrobiologi pangan pada tahun 1864. Proses pasteurisasi yang dikembangkannya bertujuan untuk mencegah kerusakan wine. Sejak saat itu ilmu teknologi pangan terus berkembang untuk berbagai keperluan. Banyak sekali cara ditempuh untuk melakukan penelitian bagaimana mengolah, mengemas, dan mengawetkan makanan serta membuat super food, makanan padat gizi yang siap konsumsi dan memenuhi kebutuhan energi vitamin, mineral dan zat gizi lainnya yang dibutuhkan tubuh. Salah satu perkembangan yang cukup pesat adalah menyediakan makanan bagi para astronot di luar angkasa seperti yang dilakukan oleh NASA.

Begitu pesatnya perkembangan ilmu teknologi pangan, membuat seorang ahli kimia dari Perancis, Marcelin Berthelot pada tahun 1894 memprediksi bahwa mungkin di tahun 2000, umat manusia tidak akan lagi bertani atau memasak. Menurutnya, umat manusia akan makan (nutritive pills) pil gizi. Namun pada tahun 2002 Herve This dalam artikel ilmiah berjudul Molecular Gastronomy, berani melawan hipotesa Berthelot dengan mengatakan bahkan hingga tahun 3000 sekalipun, mungkin umat manusia akan tetap makan makanan normal, bukan pil gizi. Dia berpendapat bahwa ketidak akuratan hipotesa yang dibuat oleh Berthelot ini disebabkan karena Berthelot memiliki antusias yang sangat tinggi tentang ilmu pengetahuan pada umumnya dan kimia pada khususnya, tetapi ia lupa bahwa perilaku makanan kita didikte oleh kebutuhan biologis dan budaya kita. Hal ini pun didukung oleh Brillat-Savarin yang berpendapat bahwa Tuhan ”memaksa” manusia makan untuk hidup, diundang dengan nafsu makan, dan dihargai dengan kesenangan. Kesenangan (pleasure) ini hanya bisa ditawarkan oleh makanan dalam bentuk nyata yang dapat dinikmati dengan menggunakan 5 panca indera yang telah dianugerahkan Tuhan untuk kita.

Saya pun sangat setuju sekali dengan Herve This yang menyatakan bahwa tidak akan ada pil gizi, evolusi akan mencegahnya. Tidak secara harfiah kalau pil gizi itu tidak akan ada. Nyatanya pil gizi itu ada, yaitu berupa suplemen. Tidak sedikit juga manusia yang mengkonsumsi dan bergantung pada suplemen. Tapi bagaimana pun juga suplemen tidak bisa dan tidak akan bisa menggantikan makanan asli itu sendiri. Sesuai namanya, suplemen hanya akan menjadi tambahan dan tidak akan menjadi yang utama. Karena makanan tidak hanya memenuhi kebutuhan zat gizi, tapi juga kebutuhan emosional yang tidak bisa didapatkan dari suplemen atau makanan siap santap.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena makanan memiliki berbagai macam fungsi. Dr. Maya Adam dari Standford University dalam video kuliahnya menjelaskan bahwa makanan memiliki dua fungsi utama. Yang pertama sebagai sumber zat gizi sebagai bahan bakar untuk berpikir (seperti yang sekarang saya lakukan—makan sambil berpikir), beraktifitas, dan untuk tumbuh kembang. Selain itu makanan memiliki fungsi kedua, yaitu fungsi sosial. Makanan bisa berfungsi sebagai salah satu cara berkomunikasi, menunjukkan rasa kasih sayang dengan manusia yang lain, memberi rasa bahagia dan nyaman dalam hidup, merayakan suatu momen penting, dan makanan juga menjadi salah satu cara mewariskan kebudayaan dan tradisi. Makanan berguna sebagai alat untuk menyatakan bagian dari kelompok sosial tertentu, misalnya etnis tertentu, vegetarian, vegan, locavore, dll. Bahkan cara makan juga merupakan eksperesi diri atau bagian dari gaya hidup, misal vegetarian food, gourmet (delicate), healthy food (functional food), fast food, atau synthetic food. Prof. Murdijati Gadjito (Guru Besar Universitas Gadjah Mada) menjelaskan bahwa di Indonesia, makanan juga berfungsi untuk menunjukkan status sosial tertentu, salah satu contohnya dalam undangan jamuan makan. Makanan yang disajikan dan cara penyajian makanan menunjukkan strata sosial dari hadirin jamuan makan.

Makanan merupakan salah satu metode berkekuatan besar untuk komunikasi. Dengan makan, kita menjadi akrab, memiliki ikatan batin satu sama lain yang membuat kesehatan (tubuh dan) emosi kita terjaga dengan baik. Jadi makanan juga menjaga kita untuk tetap menjadi makhluk sosial. Lebih dari itu, bagi saya, makanan juga merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada ciptaan-Nya. Meskipun teknologi menyediakan berbagai macam pilihan kemudahan baik dari segi persiapan, pengolahan, penyimpanan, distribusi, penjualan, penyajian, hingga konsumsi, namun tidak akan ada yang bisa menggantikan makanan asli yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Saya menyebutnya ini fitrah. Ini cara Tuhan berkomunikasi dengan makhluknya. Bahwa kita sebagai teknolog pangan mungkin bisa membuat makanan yang super (misalnya: memenuhi kebutuhan gizi yang cukup tinggi untuk sekali makan, memiliki daya simpan yang cukup lama, memiliki karakter yang memudahkan dalam hal transportasi, penyimpanan, dan penyiapan, serta memiliki kemasan yang mudah untuk mengonsumsinya), namun kembali lagi bahwa semua itu tidaklah cukup untuk manusia. Nyatanya NASA yang banyak melakukan proyek untuk mengembangkan ilmu tentang teknologi pangan sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang di hampir seluruh permukaan bumi dan luar permukaan bumi, namun sekarang NASA juga yang memiliki proyek untuk menyediakan makanan segar di antariksa. Dapat dikatakan ini adalah salah satu cara untuk mempersiapkan kehidupan manusia yang berkualitas di luar bumi.

Pertanyaannya jika kita bisa membuat makanan super dengan menggunakan teknologi canggih, mengapa perlu menyiapkan makanan segar yang tidak tahan lama? Bukankan ini membutuhkan energi yang tidak sedikit di luar angkasa? Berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg salad di luar angkasa? Dan berapa lama salad itu akan bertahan, jika mereka tidak segera mengonsumsinya? berapa banyak energi yang harus sia-sia? Dikatakan dalam website mereka, bahwa makanan atau sayuran segar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral di luar angkasa. Tapi bukankah sudah ada vitamin dan mineral dalam bentuk suplemen yang  bisa diatur untuk memenuhi (tidak lebih tidak kurang) kebutuhan manusia?

Lain halnya jika mereka hanya ingin melakukan percobaan. Tapi tentu ini percobaan yang sangat mahal. Jika mereka berusaha menyediakan makanan segar di luar angkasa, pertanyaannya untuk apa? Apa motivasi dibalik semua ini? Judul sub artikel ini mungkin menjadi jawabannya. Bahwa food makes human, human. Bahwa makanan itulah yang membuat manusia menjadi manusia. Selain itu mereka juga berharap untuk bisa menyediakan makanan yang sustainable (berkelanjutan). Hal ini tentu saja perlu direncanakan antara kebutuhan dan daya simpan agar sayur yang diproduksi tidak sia-sia. Namun dibalik itu semua, tentu makan makanan yang siap saji tidaklah senikmat makanan yang kita produksi sendiri. Karena menikmati makanan yang kita produksi sendiri akan membuat manusia terhubung kembali dengan fitrahnya. Ini bisa menjadi salah satu alasan mereka mengembangkan penelitian tentang menanam sayur di luar angkasa.

Bisa jadi keberadaan teknologi justru memutuskan tali komunikasi kita dengan Sang Maha Pencipta. Makanan berteknologi itu telah diproses dengan tahap-tahap yang begitu panjang, rumit dan pelik hingga menjauhkan kita dengan yang alami, yang Tuhan sediakan untuk kita sebagai cara Tuhan berkomunikasi merawat dan menyayangi kita. Itulah mengapa saya percaya dengan prediksi Herve This yang mengatakan bahwa tidak akan ada pil gizi, namun makanan sesungguhnya yang baik (there will never be nutritive pills, but good real food). Saya tidak mengatakan bahwa ilmu teknologi pangan itu sesuatu yang tidak berguna. Tentu saja kita sudah banyak sekali merasakan manfaat dari bidang ilmu ini dan saya tidak mungkin bisa memungkiri nikmat yang satu ini. Teknologi pangan diperlukan untuk waktu dan konteks tertentu. Teknologi pangan memang patut untuk terus dikembangkan, namun sejatinya, kita sebagai manusia akan tetap rindu untuk kembali ke fitrahnya.

——-

Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.

*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.

Categories
Artikel

Chocolatier tanpa chocolate trees*

Oleh: Dimas Rahadian Aji Muhammad, Ph.D (Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Alumni Ghent University)

Berbicara soal Belgia tentu tak lepas dari satu hal, cokelat. Seperti kata pepatah, …Belgia tanpa cokelat, bagaikan dangdut tanpa kendang, seperti film India tanpa goyang…, tidak afdol. Belgia merupakan negara produsen olahan cokelat berkualitas tinggi. Ciri cokelat bermutu tinggi antara lain meleleh pada suhu mulut dan terasa lembut. Teknologi pengolahan cokelat awalnya berkembang di Swiss. Namun, Belgia sukses memanfaatkan teknologi tersebut untuk kemudian menciptakan produk-produk inovatif.

Produk cokelat khas Belgia antara lain praline dan truffle. Praline adalah produk cokelat yang terdiri dari dua bagian penting, yaitu bagian cangkang dan bagian isi. Cangkang praline terasa keras karena memang terbuat dari bahan yang sama dengan cokelat batang. Praline dapat diisi bermacam-macam jenis isian, seperti pasta cokelat, kopi, karamel, cream, kacang tumbuk, liqueur (cairan yang mengandung alkohol), dan sebagainya. Pada Tahun 1857, Jean Neuhaus, seorang peracik obat, menggunakan cokelat untuk menutupi rasa pahit obat. Pada Tahun 1912, Neuheus Jr. berinovasi dengan mengisi cokelat tersebut dengan bahan yang lebih enak. Booom, jadilah praline. Hasilnya diterima dengan baik oleh pasar. Perbedaan truffle dan praline terletak pada cangkangnya. Cangkang truffle terbuat dari campuran cokelat dan cream, sehingga lebih lunak dan lebih mudah meleleh. Pada bagian luar truffle lazimnya ditaburi cokelat bubuk atau kacang almond tumbuk. Sebagian praline dan truffle diproduksi oleh industri skala besar, namun sebagian lainnya produksi oleh para chocolatier (pengrajin cokelat) dalam skala industri rumahan.

Hal yang paling menarik tentang cokelat Belgia adalah bahwa negara ini tidak mempunyai satu pohon cokelat (kakao) sekalipun! Hal ini wajar mengingat pohon kakao adalah pohon yang tumbuh di negara tropis, sedangkan Belgia berada pada wilayah subtropis. Belgia mengenal cokelat pada masa kekuasaan Leopold II pada abad ke-19, ketika melakukan kolonialisasi di negara-negara Afrika. Sejak saat itu cokelat diproduksi di Belgia dari biji kakao yang diambil dari negara-negara jajahannya. Dan pada akhirnya, Belgia menjadi produsen cokelat paling masyhur sejagad raya hingga saat ini. Sampai sekarang pun, biji kakaonya masih diambil dari negara-negara penghasil kakao di wilayah tropis.

Pembuatan cokelat dari biji kakao meliputi beberapa tahapan. Biji yang telah dikeluarkan dari buahnya difermentasi untuk menghasilkan bakal aroma yang enak. Setelah itu biji kakao disangrai untuk menghasilkan citarasa khas cokelat. Biji yang telah disangrai dapat digiling untuk menghasilkan pasta cokelat, dapat pula di-press untuk menghasilkan lemak cokelat. Pasta cokelat, lemak cokelat, gula, susu bubuk, dan lesitin dicampur kemudian digiling. Proses penggilingannya ada dua tahap yaitu melalui roll refiner dan conching. Proses inilah yang paling penting untuk mendapatkan cokelat yang lembut. Setelah itu, dilakukan tempering yang bertujuan membentuk kristal lemak cokelat agar dapat memadat, dan selanjutnya dapat meleleh tepat di dalam suhu mulut. Pada tahap akhir, sebelum memadat, cokelat dapat dicetak terlebih dahulu menjadi cokelat batang atau diisi dengan beragam isian untuk menjadi praline. Cokelat tersebut bisa juga digunakan untuk menyalut biskut, permen, atau beraneka jenis produk confectionary lainnya.

Terdapat ratusan perusahan yang bergerak pada industri tersebut di Belgia. Anggota yang tercatat di Choprabisco (The Royal Belgian Association of the Biscuit, Chocolate, Pralines and Confectionary) sekitar 180 perusahaan. Jumlah tersebut belum termasuk para chocolatier yang mempunyai industri skala rumah tangga. Jumlah pekerja yang bekerja pada industry ini diperkirakan hampir 12.000 orang. Salah satu perusahaan besar di Belgia (Barry Callebaut N.V) merupakan penguasa pasar cokelat di dunia dengan market share 40%. Secara total nilai perdagangan cokelat Belgia ke seluruh dunia lebih dari 1.6 Milyar Euro per tahun.

Melihat fakta tersebut, Belgia menyadari bahwa cokelat merupakan komoditas penting di negaranya. Mereka menyadari pula bahwa kualitas cokelat Belgia sangat bergantung pada kualitas biji dari negara-negara penghasil biji kakao. Oleh karenanya, negara ini berupaya keras untuk terus menjaga dan meningkatkan kualitas biji kakao di negara-negara asalnya. Beberapa alternatif jalan yang ditempuh adalah melalui kerjasama pelatihan dan penelitian antar universitas melalui proyek-proyek yang didanai Pemerintah Belgia.

Selain pada permasalahan bahan baku produksi, mereka mengerti bahwa ada tantangan besar lain yang mereka hadapi adalah tingkat konsumsi cokelat di negara-negara Eropa dan Amerika relatif stagnan. Sehingga, Belgia berupaya melakukan promosi peningkatan konsumsi cokelat ke negara-negara yang mempunyai potensi pasar besar. Asia merupakan sasaran utama misi ini, terutama China, India, dan negara di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, negara berpenduduk besar seperti Russia, Brazil, Meksiko, Nigeria, dan Turki juga merupakan target pemasaran. Memperluas pasar ke daerah baru tentu membawa konsekuensi tersendiri, antara lain menyesuaikan kualitas produk dengan (1) kondisi area pemasaran; (2) selera konsumen daerah pemasaran. Oleh karenanya inovasi harus terus dilakukan negara ini. Namun tampaknya tradisi inovasi telah mengakar kuat, terbukti beragam inovasi produk cokelat telah dihasilkan di Belgia. Saat ini, trend pengembangan produk cokelat diarahkan pada tiga fokus utama, yaitu cokelat yang bermanfaat bagi kesehatan, cokelat yang mampu tahan disimpan lebih lama, dan pengembangan single origin chocolate.

Meskipun tidak mempunyai pohon kakao, Belgia telah berjaya dan tetap terus berupaya untuk mengembangkan produk cokelatnya. Sementara Indonesia yang mempunyai perkebunan kakao begitu luasnya, belum mampu bersaing di pasar cokelat di dunia. Data dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2021), pada Tahun 2020, luas perkebunan kakao di Indonesia mencapai 1,5 juta ha dengan hasil panen mencapai 713.400 ton.

Tingginya produksi kakao tersebut tidak sejalan dengan perkembangan industri cokelat. Hal ini dibuktikan dengan tingginya ekspor dalam bentuk bahan mentah (biji kakao) dan bahan setengah jadi (lemak kakao, pasta kakao, dan kakao bubuk) dibandingkan dalam bentuk bahan jadi (cokelat). Penghasil dan eksportir bahan mentah menduduki kasta paling rendah dalam rantai produksi cokelat dunia. Apabila industri nasional hanya memproduksi dan mengekspor bahan mentah atau bahan setengah jadi, maka nilai tambah yang didapatkan tidak besar. Nilai tambah terbesar akan didapatkan oleh negara yang dapat mengolah bahan tersebut menjadi produk akhir yang berkualitas tinggi.

Perkebunan kakao tumbuh terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia, yaitu Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Irian. Analisis sensoris yang dilakukan oleh Edward Seguine dari Mars Inc., karaktersitik kakao Indonesia antara lain mempunyai rasa pahit (bitterness) dan sepet (astringency) yang kuat; citarasa khas kakao, derajat penyangraian dan rasa floral yang sedang; serta pada beberapa sampel terdeteksi citarasa kayu dan off-flavor dengan intensitas rendah (Cocoa Atlas, 2010). Pada sampel yang lain terdeteksi pula flavor smoky, caramel, nutty, fruitty, dan asam. Profil sensoris kakao secara umum dipengaruhi oleh keadaan ekologi pertumbuhan serta proses pengolahan. Sehingga perkebunan kakao yang tersebar di banyak daerah membuka peluang bagi industri cokelat untuk mengembangkan produk single origin chocolate. Bukan hanya single origin chocolate Indonesia, namun dapat pula dikembangkan single origin chocolate Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, atau Irian. Hanya Propinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Riau yang tidak mempunyai perkebunan kakao. Artinya, single origin chocolate memungkinkan untuk dikembangkan di hampir seluruh propinsi di Indonesia.

Produksi biji kakao di Indonesia yang melimpah serta besarnya jumlah populasi penduduk di Indonesia dan negara di sekitarnya merupakan peluang bagi perkembangan industri cokelat di Indonesia. Seyogyanya industri cokelat nasional dapat mengambil peluang tersebut, dengan mengolah biji kakao menjadi produk cokelat yang berkualitas tinggi serta, paling tidak memenuhi selera pasar Asia. Belgia sebagai negara penghasil cokelat terbaik, telah memulai riset untuk ekspansi pasar ke negara-negara Asia. Apabila industri nasional tidak segera mengantisipasi, pasar Asia akan dikuasai oleh negara-negara yang mempunyai tradisi kuat di industri cokelat. Namun untuk mulai ekspansi ke pasar Asia, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi industry cokelat nasional, antara lain (1) persaingan dengan cokelat produksi Eropa yang sangat kompetitif dari segi kualitas dan penguasaan teknologi; (2) perlu pemahaman terhadap selera konsumen negara tujuan; (3) penguasaan teknologi produksi cokelat yang dapat menghasilkan cokelat bermutu tinggi sekaligus mempertahankan umur simpan dalam jangka waktu lama.

Jika menguasai pasar Asia masih dianggap tidak realistis bagi industri cokelat nasional, maka menguasai pasar domestik harus dapat dilakukan. Gagasan ini perlu segera ditindaklanjuti, sebelum para raksasa industri cokelat datang. Tantangan yang harus dihadapi dalam meraih pasar domestik antara lain tingkat konsumsi cokelat di Indonesia yang masih rendah dan pemahaman masyarakat terhadap kualitas cokelat masih minim. Konsumsi cokelat penduduk Indonesia sampai saat ini pada kisaran 0,3 kg/ kapita/ tahun. Jauh dibandingkan negara-negara Eropa seperti Swiss (9 kg/kapita/tahun) atau Belgia (5 kg/kapita/tahun). Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menaikkan konsumsi cokelat adalah melakukan pengembangan dengan mengikuti trend yang terjadi secara global.

Kemauan untuk terus berinovasi merupakan salah satu hal yang patut diteladani dari Belgia. Meskipun telah menjadi kiblat dalam industri cokelat dunia, negara ini terus melakukan inovasi untuk menciptakan produk baru atau mengembangkan produk yang sudah eksis untuk menjadi semakin baik. Jika sang pemimpin pasar pun melakukan perbaikan berkelanjutan, maka industri cokelat di Indonesia pun tidak boleh dibiarkan stagnan.

——

Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.

*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.