Dr. Yuki Indrayadi sukses berpetualang dan berkontribusi di banyak instansi di negeri ini. Sejak awal Dr. Yuki menyukai bidang pendidikan. Sejak memulai program sarjananya di Institut Teknologi Bandung jurusan Teknik Industri pada kurun tahun 1991-1996, ia melanjutkan studi Master dan Doktornya di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia jurusan Teknik Mesin. Pada 1998, ia berhasil lulus gelar Master dengan predikat Cumlaude dan gelar langsung menyelesaikan program doktor pada tahun 2002 dengan disertasi yang berjudul “Distributed Dispatching Control for Dynamic Flow-line Manufacturing Systems” pada tahun 2002. Selama masa studinya, ia juga bekerja menjadi asisten peneliti di kampusnya. Banyak pengalaman karir yang telah ditempuh. Seusai melanjutkan studinya, pada tahun 2003-2004, bekerja sebagai ketua peneliti di PT Indokapital Sekuritas. Kemudian , ia berkecimpung di dunia pendidikan sebagai dosen di Swiss German University (SGU) di Fakultas Teknik dan Teknologi Informasi serta Fakultas Administrasi Bisnis. Di tengah kesibukannya sebagai dosen, ia juga bergabung juga di instansi lain seperti sekretaris/koordinator analis di perusahaan Telekomunikasi Indonesia. Sempat menjabat sebagai Senior Vice President di PT Infinite Global Kapital dan Direktur di PT Quant Capital Management, pada Oktober 2018 ia kembali lagi di perusahaan Telekomunikasi Indonesia untuk menjabat sebagai kepala BoC Sekretariat. Setelah itu, ia menjadi bagian dari PT Semen Indonesia sebagai Independent Committee Member (2013-2016) dan pada tahun 2016- 2019 menjabat sebagai sekretaris dewan komisaris PT Pertamina (Persero). Setelah itu, ia beraktifitas kembali sebagai dosen di International University Liaison Indonesia sampai saat ini.
Belgia Dulu dan Jejaknya Kini
Oleh: Galuh Syahbana Indraprahasta, Ph.D (Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Alumni Ghent University Belgia)
Perkembangan kota-kota di Belgia, beserta Belgia sendiri sebagai suatu negara berdaulat, tidak dapat dipisahkan dari aspek sejarah yang melekat dan membentuknya. ‘Benelux’, atau Belgium-Netherlands-Luxemburg, pada masanya pernah mejadi suatu kesatuan wilayah. Pada waktu Belanda mendatangi Indonesia untuk pertama kali (antara akhir abad ke-16 di Banten dan awal abad ke-17 di Ambon), Benelux (plus sebagian kecil wilayah utara Perancis sekarang) masih merupakan satu kesatuan wilayah dibawah imperium Perancis (dan sebagian Prusia/Jerman) dengan nama ‘Burgundian Netherlands’. Peruntungan nasib wilayah ini berubah setelah peperangan yang berkepanjangan selama beberapa abad; membuat wilayah ini terpecah menjadi dua, yaitu ‘Dutch Republic’ (awal mula wilayah negara Belanda) dan ‘Southern Netherlands’ (awal mula wilayah negara Belgia dan Luxemburg), tepatnya pada pertengahan abad ke-17. Meski Belgia sempat kembali menjadi bagian dari Perancis semasa ‘Revolusi Perancis’, negara ini kembali bersatu dengan Belanda setelah kekalahan Perancis pada tahun 1814. Nama negara unifikasi Benelux lama pada waktu itu adalah ‘United Kingdom of the Netherlands’. Namun, dengan terjadinya revolusi Belgia pada rentang 1830-1839, negara terakhir ini juga tidak berumur panjang dan menyebabkan terbentuknya 3 negara baru, yaitu Belanda, Belgia, dan Luxemburg. Tidak mengherankan jika sampai saat ini, dalam kaitannya dengan bahasa, ada relasi kuat antara negeri Belanda dengan Belgia bagian utara (Flanders); begitupun antara Belgia bagian selatan (Wallonia) dengan Luxemburg dan Perancis.
Eropa daratan pada masanya, terlebih sebelum dunia baru Amerika Serikat mapan dan Jepang masih asyik dengan politik tertutupnya, menjadi pusat dari peradaban dunia: ekonomi dan pengetahuan. Belanda, negara yang begitu dekat di telinga kita, pernah menjadi pusat peradaban dunia di eranya pada abad ke-17/18, tepat saat dia dengan pede-nya melakukan ekspansi ke Nusantara. Amsterdam menjadi mimpi bagi setiap pengembara dan pengejar rente dunia (layaknya Manhattan NY saat ini sebagai pusat kapitalisme modern), begitupun dengan Antwerpen (Belgia) yang menjadi pelabuhan terbesar saat itu. Sungguh, jika kita berkesempatan berkunjung ke Antwerpen, jangan lupa untuk mampir ke stasiun kereta apinya yang begitu tersohor. Tidak mengherankan jika stasiun ini termasuk salah satu yang paling indah di dunia, silakan saja googlinguntuk mengkonfirmasi legasi ini. Belgia, apapun nama yang melekat pada zaman itu, telah menjadi besar pada masanya, seiring dengan berkembangnya wilayah ‘Belanda kuno’ serta kebangkitan Eropa di Abad Pertengahan. Bahkan sebelum Belanda mempunyai universitasnya sendiri (Universiteit Leiden, universitas pertama di Belanda, berdiri tahun 1575), masyarakatnya ramai mengunjungi Belgia, khususnya Leuven, untuk menimba ilmu di Katholieke Universiteit Leuven (universitas pertama di Belgia, berdiri tahun 1425), perguruan tinggi yang sampai sekarang masih tegak berkibar. Leuven sampai saat ini masih menjadi kota mungil yang hidup karena keberadaan mahasiswanya, bahkan dengan proporsi yang tidak beda jauh dengan jumlah penduduk yang benar-benar tinggal di sana.
Di antara cerita masa lampau tersebut, momentum utama kejayaan Belgia pasca menjadi negara berdaulat adalah ketika revolusi industri mewabah seantro Eropa Barat. Contoh paling konkrit dari masa awal industrialiasi ini adalah Belgia merupakan negara kedua, setelah Kerajaan Inggris, yang memasuki revolusi industri dengan beragam jenis industri yang berkembang, terutama, seperti halnya Inggris, tekstil. Tidak disangka nyana bahwa negara yang tidak lebih luas dari pulau Jawa ini menjadi lentera bagi Eropa daratan. Yup, sebelum kita semua mengenal segala kompleksitas industri dijital yang saat ini menguasai dunia dengan beragam merk dari, terutama, Jepang dan Amerika Serikat (a.l. Apple, Matsushita, Google, Facebook, Sony, Yahoo!), jejak revolusi industri dimulai dari tekstil serta beragam industri permesinan dan pertambangan. Sejatinya industri tekstil dan turunan definisinya tidak pernah mati sampai sekarang, hanya berdiversifikasi dan berganti epicentrum. Persaingan Nike dengan Adidas, beserta dengan tawaran teknologi mutakhirnya di beragam apparel olahraga, merupakan salah satu contoh bagaimana industri ini masih memikat dan terus berkembang.
Perkembangan ekonomi dan industrialisasi Belgia yang signifikan kemudian mendorong beberapa kotanya menjadi pusat dari peradaban modern dan tetap meninggalkan jejaknya hingga saat ini. Sebagai contoh, Gent merupakan kota industri utama pada masa jayanya sampai akhir abad ke-19, begitupun dengan Liège dan Charleroi yang sempat menjadi pusat industri baja Eropa sampai sebelum Perang Dunia II. Sebagai salah satu jejak kejayaannya, Université de Liège saat ini menjadi tempat menarik bagi beberapa mahasiswa Indonesia (dan mahasiswa dari negara lainnya) untuk menimba ilmu di bidang metalurgi, pertambangan, dan sejenisnya. Adapun Charleroi menjadi hub Belgia untuk Eropa saat ini, terutama dengan keberadaan bandar udara khusus low-cost carrier, Ryan Air, sebuah maskapai yang tampaknya Air Asia coba tiru untuk regional Asia Pasifik. Kedua kota ini masih tetap menjadi salah satu pusat industri Belgia saat ini, terutama di dalam silion industriel (kawasan industri). Begitupun Gent, dengan perkembangan industri tekstil yang tidak pernah tampak berhenti, membuat Universiteit Gent menjadi salah satu tujuan belajar bagi banyak mahasiswa, termasuk dalam bidang tersebut.
Melihat negeri Belgia saat ini dimana antarkotanya dihubungakan dengan jaringan kereta api yang sangat mapan, juga tidak bisa dilepaskan dari masa revolusi industri di atas. Dengan berkembangnya teknologi uap, baja, dan kebutuhan akan distribusi (produksi dan pasar) yang cepat saat itu, Belgia memberikan perhatian besar terhadap pembangunan jaringan transportasi, termasuk kereta api. Bahkan, Belgia merupakan salah satu pusat utama pengembangan kereta api di Eropa daratan. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1835, Léopold I (Raja Belgia saat itu) membangun jaringan kereta api pertama di Eropa daratan, menghubungkan antara Brussel dan Mechelen. Begitupun dengan jaringan dalam kotanya, jaringan tram dibangun di beberapa kota besar. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Belgia untuk menjadi pemain utama khususnya dalam bidang perkeretaapian. Pada awal tahun 1900an, Belgia telah menjadi salah satu eksportir utama (baik material dan sistem) perkeretaapian (termasuk tram) ke banyak negara, termasuk beberapa negara di Amerika Selatan, China, Mesir, Kongo, dan termasuk pengembangan jaringan metro/subway Paris (Paris Métro).
Belgia juga mengembangkan jaringan infrastruktur lainnya, seperti pelabuhan dan kanal yang sebenarnya sudah berkembang jauh sebelum kereta api muncul. Secara garis besar, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu fokus utama mengingat ekonomi Belgia sangat tergantung dengan negara lainnya, baik dari sisi perdagangan (ekspor dan impor) maupun mobilitas manusia, pengetahuan, dan lainnya. Sebagai contoh, saat ini pelabuhan Antwerpen merupakan pelabuhan terbesar kedua di Eropa setelah Rotterdam dari sisi volume kargo. Selain merupakan kota pelabuhan utama Belgia yang memiliki sejarah panjang dengan Afrika, Antwerpen juga merupakan kota permata terbesar di dunia. Sebagai catatan, permata juga menjadi komoditi ekspor utama Belgia, meskipun bahan bakunya didapatkan dari negeri-negeri seberang lautan. Dengan keunggulan lokasional ini, Universiteit Antwerp merupakan salah satu institusi yang menawarkan keunggulan keilmuan di bidang kemaritiman, baik dari sisi engineering, manajemen, maupun ekonomi. Selain Antwerpen, Brugge dan Gent juga memiliki pelabuhan terbesar, secara berurutan, kedua dan ketiga di Belgia, dengan spesifikasi peruntukan yang berbeda-beda. Brugge, kota mungil dan turis nomor satu di Belgia, merupakan pelabuhan Eropa terbesar untuk lalu-lintas RoRo (roll-on/roll-off) dan gas alam. Kota Brugge ini juga sempat mampir sebagai latar utama di film Bollywood ‘PK’ karya Amir Khan yang tayang dan booming pada tahun 2014. Memang keindahan kota ini tiada tara. Anda bahkan bisa membayar toilet dengan British poundsterling untuk memfasilitasi membludaknya pelancong dari negeri Ratu Elizabeth.
Selain itu, dengan masa industrialisasi yang sudah berubah dengan cepat dan Eropa yang telah memasuki masa ‘post-industrial economy’, terutama pasca restrukturisasi ekonomi global pada tahun 1970an, perkembangan ekonomi Belgia juga banyak mengalami perubahan. Dalam catatan resmi, sekitar 74% dari produk domestk bruto (PDB) Belgia saat ini disumbangkan oleh sektor jasa. Industri tetap ada dan berlokasi di beberapa daerah, khususnya yang didesain sebagai kawasan industri. Adapun kebanyakan dari aktivitas industri ini, sudah lebih berorientasi pada aktivitas penelitian dan pengembangan (R&D). Oleh karena itu, beberapa kampus seperti Universiteit Gent, Katholieke Universiteit Leuven, dan universitas lainnya menjalin hubungan erat dengan industri-industri yang ada. Inilah yang kemudian kita sering sebut sebagai ‘knowledge-based economy’, ekonomi yang didorong oleh pengetahuan dan inovasi. Adapun divisi ‘kerah-biru (blue-collar)’ dari industri, alias pabrik-pabrik, sudah banyak ber(re)lokasi ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, mengejar biaya produksi (termasuk buruh) yang jauh lebih murah dan pasar yang tumbuh mekar. Seperti banyak orang saksikan, Greater Jakarta (Jabodetabek dan sekitarnya) menjadi epicentrum dari para kerah-biru awal abad ke-21; menyajikan pemandangan pabrik, truk tronton, dan demonstrasi buruh sebagai ekspresi ruang sosial-ekonomi sehari-hari; terkadang membuat stres para pelancong ibukota yang ingin mampir ke Bandung. Sayang sekali, di Indonesia, antara industri dan lembaga produksi pengetahuan (universitas dan lembaga litbang) masih berada dalam meja yang berbeda.
Secara ekonomi mungkin Eropa sudah mengalami masa post-industry, tetapi secara maknawi aktivitasnya menjadi lebih high-end, termasuk sebagai pusat R&D, maupun broker perdagangan. Dan memang dengan pergeseran ini, Belgia tampak tidak menjadi satu-satunya pemain utama dalam industri dunia, kecuali industri cokelat dan beragam produk bio-science-engineering. Persaingan semakin ketat dan negara-negara baru bermunculan, termasuk Asia Timur yang semakin mendominasi, khususnya dalam bidang elektronik dan otomotif. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah Brussel yang menjadi pusat dari broker ekonomi dan politik. Beragam deal perdagangan, industri, dan politik tampaknya menjadi fungsi terbaru Belgia di tengah jantung Eropa, maupun antara Eropa dengan Amerika dan Asia. Kota-kota di Belgia lainnya, seperti diceritakan secara singkat, berkembang berkombinasi dengan sejarah masa lampau. Brussel menjadi hub Eropa dan tempat bertemunya 4 kereta cepat berbeda merk (Thalys, Eurostar, TGV, dan ICE). Antwerpen tetap angkuh sebagai kota pelabuhan utama, Gent menjadi kota kreatif UNESCO dalam musik, Brugge menjadi daya tarik utama wisata, Liège menjadi peradaban utama di Wallonia (bagian berbahasa Perancis), Charleroi masih tertatih dengan transisi industri dan berupaya mempertahankan fungsi hub-nya, dan Leuven tetap mungil sebagai kota akademik. Begitupun dengan banyak kota-kota lainnya yang telah secara sengaja saya plutonisasi dalam cerita di buku ini. Satu hal yang pasti, antarkota saling berteman, dikoneksikan dengan jaringan transportasi yang mapan; dan Brussel sebagai ibu dari kota-kota yang ada, mengkoneksikan dirinya pada jaringan yang lebih luas, menjadi simbol dari politik-ekonomi Belgia yang secara gradual terus berubah.
——-
Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.
*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.
Prof. Dr. Kees Bertens tidak lahir di Indonesia, namun kecintaannya pada Indonesia telah membawanya untuk tinggal dan berkarya di Indonesia. Prof. Bertens lahir di Belanda, tepatnya di kota Tilburg, pada 1936. Kees muda menempuh pendidikan Doktor dalam bidang filsafat pada tahun 1968 di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia. Selama masa studinya di Belgia, setiap hari minggu selalu memiliki aktivitas membantu paroki atau biara suster di Belgia.Ia juga memiliki pengalaman sebagai Pastoral di Perancis pada saat libur panjang di kota La Courneuve. Pada tahun 1965, ia juga pernah menjadi pemimpin misa di Belanda. Itulah sebabnya ia dijuluki sebagai seorang rohaniawan. Sejak Tahun 1968, Prof. Bertens menjadi seorang rohaniawan Gereja Katholik di Jakarta.
Selain sebagai rohaniawan, saat ini ia juga sesosok tokoh etika Indonesia yang banyak berkecimpung di dunai akademis sebagai ahli filsafat dan teologi. Beberapa pengalaman profesi yang pernah dijalani antara lain yaitu pengajar di Seminari MSC, Belanda selama 2 tahun, Seminari Pineleng selama 11 tahun, STF Driyarkara selama beberapa tahun dan sisanya sebagai dosen di Universitas Katolik Atma Jaya yang merupakan tempat mengajar paling lama yaitu sejak tahun 1983. Di universitas tersebut, Prof. Bertens menjabat sebagai Direktur Pusat Etika pada tahun 1984-1995. Bahkan pada tahun 1990-1998, beliau juga dipercaya sebagai ketua HIDESI (Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia).
Pada tahun 2004 – 2009, ia membuka layanan konsultasi eksternal pada Komisi Nasional Bioetika dan pada tahun 2003 hingga saat ini, beliau melayani konsultasi eksternal pada Komisi Nasional Etika Riset Kesehatan. Hingga saat ini, bberapa karya buku telah diterbitkan, diantaranya yaitu “Etika” (1993); “Membahas Kasus Etika Kedokteran” (1996); ”Pengantar Etika Bisnis” (2000); ”Perspektif Etika” (2001); ”Aborsi sebagai Masalah Etika” (2002); ”Keprihatinan Moral” (2003); ”Sketsa-sketsa Moral” (2004); ”Metode belajar untuk Mahasiswa” (2005); “Psikoanalisis Sigmund Freud” (2006); “Perspektif Etika Baru” (2009).
—-
Jago Bahasa Perancis, bisa dari Belgia

Oleh : Andriarto Andradjati (Pendiri dan Pengajar Kursus Bahasa Perancis “OPERA – Obrol Perancis”, Alumni Athénée Royal Crommelynck de Woluwe Saint – Pierre, Brussel)
Mungkin belum diketahui secara umum oleh banyak orang Indonesia bahwa Belgia juga negara berbahasa Perancis. Lebih dari 20 tahun lalu, pada 1997 – 1998 saya belajar bahasa Perancis untuk pertama kalinya guna pergi ke Belgia, bukan ke Perancis. Saya dikursuskan oleh ayah saya karena karena saya akan ikut beliau bertugas sebagai diplomat Indonesia di Brussel. Waktu itu saya masih kelas 5 SD. Les tersebut saya jalani selama sekitar dua bulan di Alliance Française Cabang Bogor (kini sudah tiada).
Ternyata, sesampainya saya di Belgia pada awal tahun 1998, ada dua hal yang masih menjadi kekurangan saya : 1) kursus selama 2 bulan belum cukup untuk bisa berbicara dan mengerti bahasa Perancis ; 2) saya belum tahu bahwa bahasa Perancis ternyata memiliki varian. Bahasa Perancis di Belgia tidak sepenuhnya sama dengan di Perancis. Sementara sewaktu masih di Indonesia, oleh guru Alliance Française saya hanya diajari bahasa Perancis Perancis. Maka, sesampainya di Belgia, saya kaget saat mendengar dan melihat kosa kata yang berbeda untuk maksud kata yang sama dengan di bahasa Perancis Perancis.
Kosa kata yang pertama kali mengejutkan saya adalah “septante”, angka 70 dalam bahasa Perancis Belgia. Septante adalah tujuh puluh, seventy dalam bahasa Inggris. Sedangkan di catatan pelajaran saya dari Alliance Française, saya diajarinya “soixante – dix”. Begitulah istilah 70 dalam bahasa Perancis Perancis. Terjemahan tekstualnya enam puluh sepuluh (60 + 10). Kemudian 90 di bahasa Perancis Belgia adalah “nonante” (sembilan puluh). Sedangkan di bahasa Perancis Perancis istilahnya “quatre – vingt – dix” (4 (quatre) x 20 (vingt) + 10 (dix) atau juga 80 (quatre – vingts) + 10 (dix)).
Dampak dari kemampuan bahasa Perancis saya yang masih relatif nihil, saya gagal naik kelas. Saya tinggal kelas di kelas 5 SD dan oleh sekolah saya, École Communale La Fermette de Wezembeek – Oppem, saya disuruh ambil kursus bahasa Perancis selama libur musim panas Juli – Agustus 1998. Memang, ayah saya menyarankan ambil sekolah lokal yang frankofon (berbahasa Perancis) daripada yang néerlandophone (berbahasa Belanda). Sebab menurut pertimbangan beliau, bahasa Perancis lebih dipakai di dunia internasional daripada bahasa Belanda. Ada dampak lain dari kemampuan linguistik masih nihil saya. Kala ibu pemilik rumah yang kami sewa datang saat ayah saya sedang tidak ada di rumah, saya tidak bisa mengerti hal yang madame tersebut sampaikan. Beliau tidak bisa berbahasa Inggris. Hanya bisa bahasa Belanda dan Perancis. Bahasa Belanda saya lebih tidak bisa dibandingkan bahasa Perancis. Sebab, kala itu saya sama sekali belum pernah mempelajarinya selain via pelajaran seminggu sekali di sekolah.
Akhirnya, saya pun mengikuti arahan dari sekolah saya. Pada bulan Juli dan Agustus 1998, saya kursus bahasa Perancis di Institut de Formation de Cadres pour le Développement (IFCAD) di ibukota Brussel. Ditambah dengan mengulang kelas 5 SD, saya lambat laun makin bisa bahasa Perancis. Pada April tahun 2000 saat kelas 6 SD, saya diambil jadi wakil sekolah saya pada lomba dikte bahasa Perancis nasional Belgia, La Dictée du Balfroid. Luar biasa, saya berhasil melaju sampai babak semi final ! Dari tadinya zéro pada 1998 akhirnya menjadi héros pada tahun 2000 !
Sesudah lulus dari SD La Fermette, saya lanjut ke tingkat SMP di Athénée Royal Crommelynck di Commune Woluwe Saint – Pierre, di ibukota Brussel. Saya bersekolah di situ hingga pulang kembali ke Indonesia pada tahun 2002. Di Athénée Royal Crommelynck, saya belajar satu bahasa asing lainnya yaitu bahasa Latin. Sehingga, dari pengalaman tinggal di Belgia, saya jadi membawa ilmu tiga bahasa berbeda : bahasa Perancis, bahasa Belanda dan bahasa Latin. Adapun bahasa Jerman, bahasa resmi ke – tiga negara Belgia, sudah pernah saya pelajari sebelumnya saat ayah saya ditugaskan di Wina, Austria. Di Belgia sendiri hanya sempat saya gunakan sebentar di École La Fermette ketika wali kelas saya pada awalnya mencoba menjelaskan ke saya pakai bahasa Jerman. Selebihnya, saya tidak pernah menggunakannya mengingat orang germanophone di Belgia juga sedikit sekali jumlahnya. Bahasa Inggris ? Secara umum saya bisa tapi di Belgia nyaris tak pernah terpakai. Hanya bahasa Perancis dan sedikit bahasa Belanda.
Sepulang dari Belgia, saya sempat mendaftar lanjut SMP di Lycée Français di Cipete, Jakarta. Sebabnya, saya ingin stabilitas bisa melanjutkan studi pakai bahasa yang sudah empat tahun saya pergunakan (bahasa Perancis). Rupanya, saya tak diterima. Sebab, saya orang yang bisa bersekolah di sekolah lokal (sekolah berbahasa Indonesia). Saya bukan orang prioritas yang tak punya opsi selain bersekolah dalam bahasa Perancis. Tapi, saya sempat menjalani tes masuk Lycée Français. Di situ, ada seorang calon siswi asal Jepang. Saat sedang mengerjakan tesnya, dia ditanya oleh pengawas mengapa dirinya menggunakan kata “nonante”. Padahal, di bahasa Perancis Perancis kan istilahnya “quatre – vingt – dix”. Siswi itu menjawab bahwa “nonante” adalah istilah 90 yang dia gunakan saat dulu tinggal di Swiss. Dari situ, saya jadi dapat pengetahuan bahwa ternyata Swiss juga memiliki varian bahasa Perancis yang berbeda dari negara Perancis. Rupanya ada kosa kata yang sama dengan bahasa Perancis Belgia.
Tak diterima oleh Lycée Français, saya jadi berpisah cukup lama dengan bahasa Perancis. Bahasa tersebut hanya saya gunakan dari waktu ke waktu untuk mengobrol dengan adik saya, di samping bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Saya baru benar – benar menggunakannya lagi pada 2015 setelah membuka dan mengajar kursus bahasa Perancis di lembaga milik saya sendiri di Bogor : OPERA – Obrol Perancis. Berbeda dari banyak lembaga kursus lainnya di Indonesia, OPERA punya keunikan yaitu mengajarkan empat bahasa Perancis sekaligus : bahasa Perancis Perancis, Perancis Belgia, Perancis Swiss dan Perancis Kanada. Saya telah menjadi seorang pengajar yang punya kemampuan 4 bahasa Perancis berbeda. Ini langka di Indonesia !
Dari mana saya bisa bahasa Perancis Kanada ? Saat masih di Belgia, pada tahun 2001 saya sempat liburan bersama keluarga ke Kanada, negara kelahiran saya. Di situ kami sempat ke Provinsi Québec dan saya terkejut mendapati bahasa Perancis di sana beda dari bahasa Perancis Belgia maupun bahasa Perancis Perancis. Kosa kata dan logatnya ada yang tak sama. Itu yang membuat saya kian tahu ternyata bahasa Perancis itu tidak hanya ada bahasa Perancis Perancis. Bahkan setelah saya membaca referensi lebih lanjut, ternyata bahasa Perancis Belgia juga go international sebagaimana bahasa Perancis Perancis. Ini disebabkan Belgia dan Perancis sama – sama menjajah berbagai negara sembari membawa bahasa Perancisnya masing – masing.
Selama menjalani profesi di OPERA sejak 2015, saya sudah memiliki beragam alumni. Murid pertama OPERA sukses tembus beasiswa Universitas Sorbonne, Paris pada 2017. Lalu, ada juga murid yang merupakan diplomat muda Indonesia yang berdinas di KBRI Tunis. Sebelumnya dirinya ditugaskan di KBRI Ottawa, Kanada. Lalu, pada Februari 2019 OPERA memberi pelatihan bahasa Perancis di Pusdiklat Kementerian Luar Negeri. Selain itu, ada juga murid yang lanjut sekolah di Montréal, Québec, Kanada. Ada pula yang kuliah ke Universitas Reims, Perancis. Kini, ada pula yang belajar bahasa Perancis karena akan kuliah mode di Paris. Berkat belajar di OPERA, mereka semua jadi punya kemampuan bicara empat bahasa Perancis berbeda seperti halnya saya.
Tak hanya itu, sebagian dari mereka pun berhasil saya bimbing hingga lulus berbagai level Tes DELF, tes sertifikasi internasional bahasa Perancis semacam TOEFL atau IELTS di bahasa Inggris. DELF adalah singkatan dari Diplôme d’Études en Langue Française (Diploma Studi Bahasa Perancis) dan merupakan tes untuk tingkat pemula hingga menengah. Yang tingkat mahir, tesnya adalah DALF (Diplôme Approfondi en Langue Française (Diploma Mendalam Bahasa Perancis)).
Uniknya, saya berhasil meluluskan sebagian murid saya pada Tes DELF saat saya belum pernah mengambil tes itu sendiri ! Bahkan, alumni OPERA yang lanjut sekolah ke Montréal, Québec, Kanada, memukai penguji DELF level B1 dengan mempraktekkan empat bahasa Perancis sekaligus pada tes speaking : bahasa Perancis Perancis, bahasa Perancis Belgia, bahasa Perancis Swiss dan bahasa Perancis Kanada. Nilai speakingnya pun mendekati sempurna !
Setelah murid pertama saya pergi ke Sorbonne, saya akhirnya mengambil Tes DELF dan DALF selevel demi selevel. Hasilnya, saya meraih prestasi fantastis ! Saya empat kali sukses meraih skor tertinggi DELF dan DALF se-Indonesia ! Bahkan pada DALF level C1, saya menjadi satu – satunya peserta yang lulus dari lokasi ujian di IFI Thamrin (Institut Français d’Indonésie cabang Thamrin, Jakarta Pusat). Tak hanya itu, selama saya mengambil Tes DELF dan DALF, saya berulang kali ditanya belajar bahasa Perancis di mana serta apakah saya murid kursus IFI. Saking terpukaunya para penguji dan sekretariat IFI Thamrin pada saya. Saya pun lantas memperoleh penghargaan Certificat d’Excellence DELF dan DALF dari IFI sebanyak empat kali.
Uniknya, kemampuan bahasa Perancis saya yang mantap diperoleh dari hasil tinggal dan sekolah di Belgia, bukan di Perancis ! Ini menunjukkan bahwa kita bisa jago bahasa Perancis dari negara frankofon manapun di dunia. Kuncinya adalah tekun dan sabar mau belajar semuanya dari nol. Ditambah dengan potensi di bidang bahasa, maka hasil kita bisa mantap. Pengalaman saya memperlihatkan proses yang tidak instan untuk meraih prestasi. Saya sangat bersyukur pernah tinggal di Belgia. Saya juga bangga bisa turut mengharumkan barisan alumni Belgia dengan bidang yang tak lepas dari identitas Belgia. Bahkan lulus kuliah S1 pun topik skripsi saya tentang Belgia. Rasanya saya amat menikmati pengalaman tinggal di sana.
Semoga pengalaman yang saya bagikan bisa menjadi inspirasi dan dorongan semangat bagi teman – teman semua. Semoga kita semua bisa meraih kesuksesan dan berkontribuasi dari bidang kita masing – masing. Sebab kalau saya bisa, mudah – mudahan teman – teman sekalian juga bisa ! Bismillah, bonne chance et bon courage !
——-
Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.
Dr. Ir. Bambang Subianto merupakan alumni master (1981) dan doktor (1984) KU Leuven, Belgia, yang dikenal sebagai salah satu tokoh Kabinet Reformasi Pembangunan. Pria yang lahir pada tanggal 10 Januari 1945 di Madiun ini meraih gelar Insinyur pada program studi Teknik Kimia di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1973, dan selanjutnya pada tahun 1975 bergabung menjadi peneliti dan staf pengajar Jurusan Manajemen, di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Pada tahun 1988, Dr. Ir. Bambang Subianto memulai perjalanan karirnya di Kementerian Keuangan sebagai Direktur pada Departemen Keuangan dan Akuntansi. Kemudian naik jabatan sebagai Direktur Jenderal Lembaga Keuangan pada tahun 1992. Selama masa jabatannya, ia aktif dalam mengembangkan peraturan hukum seperti hukum pasar modal (1995), UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (1997), dan sebagainya. Saat pertengahan krisis moneter pada Januari 1998, ia diangkat sebagai Kepala Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA) atau Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Di era krisis moneter pada April 1998, Dr. Ir. Bambang Subianto diangkat sebagai Menteri Keuangan RI periode 1998-1999 di Kabinet Reformasi Pembangunan oleh Presiden B,J, Habibie sebagai upaya negara dalam menyehatkan perbankan. Upaya yang menonjol pada saat itu yaitu menghapus monopoli dan rekapitalisasi perbankan. Seusai menjabat sebagai Menteri Keuangan, bergabung dengan Ernst and Young pada Juli 2000 hingga masa pensiunnya pada tahun 2005. Di masa pensiunnya, ia menjabat sebagai Presiden Komisaris PT. Star Energy Investments dan Komisaris Independen PT. Unilever Indonesia Tbk.
Food makes human beings human
Oleh: Dr. Dwi Larasatie Nur Fibri, S.TP., M.Sc (Sekretaris Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada, Bendahara Umum Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Alumni KAHO Sint-Lieven, Belgia)
Ilmu Pangan masih merupakan disiplin ilmu yang masih asing bagi kebanyakan orang. Padahal ilmu pangan merupakan displin ilmu yang sangat penting karena manusia akan selalu membutuhkan pangan sepanjang hidupnya. Sehingga ilmu dan teknologi pangan diperkirakan akan terus berkembang seiring dengan perkembangan jaman.
Ilmu dan teknologi pangan bermula saat Nicholas Appert, seorang koki dari Perancis, mengembangkan proses pengemasan dengan menggunakan bahan dari gelas pada tahun 1784. Kemudian Louis Pasteur berkontribusi dalam bidang mikrobiologi pangan pada tahun 1864. Proses pasteurisasi yang dikembangkannya bertujuan untuk mencegah kerusakan wine. Sejak saat itu ilmu teknologi pangan terus berkembang untuk berbagai keperluan. Banyak sekali cara ditempuh untuk melakukan penelitian bagaimana mengolah, mengemas, dan mengawetkan makanan serta membuat super food, makanan padat gizi yang siap konsumsi dan memenuhi kebutuhan energi vitamin, mineral dan zat gizi lainnya yang dibutuhkan tubuh. Salah satu perkembangan yang cukup pesat adalah menyediakan makanan bagi para astronot di luar angkasa seperti yang dilakukan oleh NASA.
Begitu pesatnya perkembangan ilmu teknologi pangan, membuat seorang ahli kimia dari Perancis, Marcelin Berthelot pada tahun 1894 memprediksi bahwa mungkin di tahun 2000, umat manusia tidak akan lagi bertani atau memasak. Menurutnya, umat manusia akan makan (nutritive pills) pil gizi. Namun pada tahun 2002 Herve This dalam artikel ilmiah berjudul Molecular Gastronomy, berani melawan hipotesa Berthelot dengan mengatakan bahkan hingga tahun 3000 sekalipun, mungkin umat manusia akan tetap makan makanan normal, bukan pil gizi. Dia berpendapat bahwa ketidak akuratan hipotesa yang dibuat oleh Berthelot ini disebabkan karena Berthelot memiliki antusias yang sangat tinggi tentang ilmu pengetahuan pada umumnya dan kimia pada khususnya, tetapi ia lupa bahwa perilaku makanan kita didikte oleh kebutuhan biologis dan budaya kita. Hal ini pun didukung oleh Brillat-Savarin yang berpendapat bahwa Tuhan ”memaksa” manusia makan untuk hidup, diundang dengan nafsu makan, dan dihargai dengan kesenangan. Kesenangan (pleasure) ini hanya bisa ditawarkan oleh makanan dalam bentuk nyata yang dapat dinikmati dengan menggunakan 5 panca indera yang telah dianugerahkan Tuhan untuk kita.
Saya pun sangat setuju sekali dengan Herve This yang menyatakan bahwa tidak akan ada pil gizi, evolusi akan mencegahnya. Tidak secara harfiah kalau pil gizi itu tidak akan ada. Nyatanya pil gizi itu ada, yaitu berupa suplemen. Tidak sedikit juga manusia yang mengkonsumsi dan bergantung pada suplemen. Tapi bagaimana pun juga suplemen tidak bisa dan tidak akan bisa menggantikan makanan asli itu sendiri. Sesuai namanya, suplemen hanya akan menjadi tambahan dan tidak akan menjadi yang utama. Karena makanan tidak hanya memenuhi kebutuhan zat gizi, tapi juga kebutuhan emosional yang tidak bisa didapatkan dari suplemen atau makanan siap santap.
Mengapa itu bisa terjadi? Karena makanan memiliki berbagai macam fungsi. Dr. Maya Adam dari Standford University dalam video kuliahnya menjelaskan bahwa makanan memiliki dua fungsi utama. Yang pertama sebagai sumber zat gizi sebagai bahan bakar untuk berpikir (seperti yang sekarang saya lakukan—makan sambil berpikir), beraktifitas, dan untuk tumbuh kembang. Selain itu makanan memiliki fungsi kedua, yaitu fungsi sosial. Makanan bisa berfungsi sebagai salah satu cara berkomunikasi, menunjukkan rasa kasih sayang dengan manusia yang lain, memberi rasa bahagia dan nyaman dalam hidup, merayakan suatu momen penting, dan makanan juga menjadi salah satu cara mewariskan kebudayaan dan tradisi. Makanan berguna sebagai alat untuk menyatakan bagian dari kelompok sosial tertentu, misalnya etnis tertentu, vegetarian, vegan, locavore, dll. Bahkan cara makan juga merupakan eksperesi diri atau bagian dari gaya hidup, misal vegetarian food, gourmet (delicate), healthy food (functional food), fast food, atau synthetic food. Prof. Murdijati Gadjito (Guru Besar Universitas Gadjah Mada) menjelaskan bahwa di Indonesia, makanan juga berfungsi untuk menunjukkan status sosial tertentu, salah satu contohnya dalam undangan jamuan makan. Makanan yang disajikan dan cara penyajian makanan menunjukkan strata sosial dari hadirin jamuan makan.
Makanan merupakan salah satu metode berkekuatan besar untuk komunikasi. Dengan makan, kita menjadi akrab, memiliki ikatan batin satu sama lain yang membuat kesehatan (tubuh dan) emosi kita terjaga dengan baik. Jadi makanan juga menjaga kita untuk tetap menjadi makhluk sosial. Lebih dari itu, bagi saya, makanan juga merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada ciptaan-Nya. Meskipun teknologi menyediakan berbagai macam pilihan kemudahan baik dari segi persiapan, pengolahan, penyimpanan, distribusi, penjualan, penyajian, hingga konsumsi, namun tidak akan ada yang bisa menggantikan makanan asli yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Saya menyebutnya ini fitrah. Ini cara Tuhan berkomunikasi dengan makhluknya. Bahwa kita sebagai teknolog pangan mungkin bisa membuat makanan yang super (misalnya: memenuhi kebutuhan gizi yang cukup tinggi untuk sekali makan, memiliki daya simpan yang cukup lama, memiliki karakter yang memudahkan dalam hal transportasi, penyimpanan, dan penyiapan, serta memiliki kemasan yang mudah untuk mengonsumsinya), namun kembali lagi bahwa semua itu tidaklah cukup untuk manusia. Nyatanya NASA yang banyak melakukan proyek untuk mengembangkan ilmu tentang teknologi pangan sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang di hampir seluruh permukaan bumi dan luar permukaan bumi, namun sekarang NASA juga yang memiliki proyek untuk menyediakan makanan segar di antariksa. Dapat dikatakan ini adalah salah satu cara untuk mempersiapkan kehidupan manusia yang berkualitas di luar bumi.
Pertanyaannya jika kita bisa membuat makanan super dengan menggunakan teknologi canggih, mengapa perlu menyiapkan makanan segar yang tidak tahan lama? Bukankan ini membutuhkan energi yang tidak sedikit di luar angkasa? Berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg salad di luar angkasa? Dan berapa lama salad itu akan bertahan, jika mereka tidak segera mengonsumsinya? berapa banyak energi yang harus sia-sia? Dikatakan dalam website mereka, bahwa makanan atau sayuran segar diperlukan untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral di luar angkasa. Tapi bukankah sudah ada vitamin dan mineral dalam bentuk suplemen yang bisa diatur untuk memenuhi (tidak lebih tidak kurang) kebutuhan manusia?
Lain halnya jika mereka hanya ingin melakukan percobaan. Tapi tentu ini percobaan yang sangat mahal. Jika mereka berusaha menyediakan makanan segar di luar angkasa, pertanyaannya untuk apa? Apa motivasi dibalik semua ini? Judul sub artikel ini mungkin menjadi jawabannya. Bahwa food makes human, human. Bahwa makanan itulah yang membuat manusia menjadi manusia. Selain itu mereka juga berharap untuk bisa menyediakan makanan yang sustainable (berkelanjutan). Hal ini tentu saja perlu direncanakan antara kebutuhan dan daya simpan agar sayur yang diproduksi tidak sia-sia. Namun dibalik itu semua, tentu makan makanan yang siap saji tidaklah senikmat makanan yang kita produksi sendiri. Karena menikmati makanan yang kita produksi sendiri akan membuat manusia terhubung kembali dengan fitrahnya. Ini bisa menjadi salah satu alasan mereka mengembangkan penelitian tentang menanam sayur di luar angkasa.
Bisa jadi keberadaan teknologi justru memutuskan tali komunikasi kita dengan Sang Maha Pencipta. Makanan berteknologi itu telah diproses dengan tahap-tahap yang begitu panjang, rumit dan pelik hingga menjauhkan kita dengan yang alami, yang Tuhan sediakan untuk kita sebagai cara Tuhan berkomunikasi merawat dan menyayangi kita. Itulah mengapa saya percaya dengan prediksi Herve This yang mengatakan bahwa tidak akan ada pil gizi, namun makanan sesungguhnya yang baik (there will never be nutritive pills, but good real food). Saya tidak mengatakan bahwa ilmu teknologi pangan itu sesuatu yang tidak berguna. Tentu saja kita sudah banyak sekali merasakan manfaat dari bidang ilmu ini dan saya tidak mungkin bisa memungkiri nikmat yang satu ini. Teknologi pangan diperlukan untuk waktu dan konteks tertentu. Teknologi pangan memang patut untuk terus dikembangkan, namun sejatinya, kita sebagai manusia akan tetap rindu untuk kembali ke fitrahnya.
——-
Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.
*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.
Pada Hari Sabtu, 22 Mei 2021, Alumni Belgia bekerjasama dengan PPI Belgia menyelenggarakan silaturahmi dengan “Merajut Tali Kebhinekaan PPI dan Alumni Belgia” dengan mengambil momen syawalan. Kegiatan ini didukung sepenuhnya oleh Kedutaaan Besar Republik Indonesia di Belgia dan juga Kedutaan Besar Kerajaan Belgia di Indonesia.
H.E. Andri Hadi selaku Duta Besar Republik Indonesia untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa serta H.E. Stéphane De Loecker selaku Duta Besar Kerajaan Belgia untuk Indonesia hadir dalam kegiatan ini untuk memberikan opening speech. Kedua Duta Besar tersebut mendukung sepenuhnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan Alumni Belgia dan PPI Belgia yang dilaksanakan dalam kerangka memberikan kontribusi pada peningkatan kerjasama antara kedua negara. Sebagai keynote speech, dihadirkan Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc., alumni Ghent University yang saat ini menjabat sebagai direktur jenderal di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberikan paparan mengenai kepemimpinan. Tausiyah dan materi tentang kebhinekaan disampaikan oleh Dr. Ayang Utriza Yakin, seorang peneliti yang saat ini sedang menjadi visiting professor di Ghent University.
Kegiatan silaturahmi ini dirangkai dengan diskusi interaktif dengan topik “Further Step After Graduation” bagi para mahasiswa yang sedang menempuh studi di Belgia. Pada sesi ini, dihadirkan beberapa nara sumber sekaligus, yaitu (1) Dr. Dodi Reza Alex Noerdin, alumni dari UC Louvain yang saat ini menjadi Bupati Musi Banyuasin; (2) Dr. Dendi Ramdanai, alumni dari Univesiteit Antwerpen yang saat ini menjadi VP Industry and Regional at Bank Mandiri; (3) Dr. Dimas Rahadian Aji Muhammad, alumni Ghent University yang saat ini menjadi dosen di Universitas Sebelas Maret Surakarta; (4) Prima Interpares, M.Sc., alumni program joint master KU Leuven dan Ghent University yang saat ini menjadi koordinator di Rikolto sebuah NGO yang berasal dari Belgia. Kegiatan ini menjadi pijakan penting untuk menguatkan komunikasi dan kerjasama antar anggota Alumni Belgia maupun antara Alumni Belgia dengan berbagai pihak terkait.
Berita terkait: https://www.facebook.com/BelgiumJakarta/
Chocolatier tanpa chocolate trees*
Oleh: Dimas Rahadian Aji Muhammad, Ph.D (Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Alumni Ghent University)
Berbicara soal Belgia tentu tak lepas dari satu hal, cokelat. Seperti kata pepatah, …Belgia tanpa cokelat, bagaikan dangdut tanpa kendang, seperti film India tanpa goyang…, tidak afdol. Belgia merupakan negara produsen olahan cokelat berkualitas tinggi. Ciri cokelat bermutu tinggi antara lain meleleh pada suhu mulut dan terasa lembut. Teknologi pengolahan cokelat awalnya berkembang di Swiss. Namun, Belgia sukses memanfaatkan teknologi tersebut untuk kemudian menciptakan produk-produk inovatif.
Produk cokelat khas Belgia antara lain praline dan truffle. Praline adalah produk cokelat yang terdiri dari dua bagian penting, yaitu bagian cangkang dan bagian isi. Cangkang praline terasa keras karena memang terbuat dari bahan yang sama dengan cokelat batang. Praline dapat diisi bermacam-macam jenis isian, seperti pasta cokelat, kopi, karamel, cream, kacang tumbuk, liqueur (cairan yang mengandung alkohol), dan sebagainya. Pada Tahun 1857, Jean Neuhaus, seorang peracik obat, menggunakan cokelat untuk menutupi rasa pahit obat. Pada Tahun 1912, Neuheus Jr. berinovasi dengan mengisi cokelat tersebut dengan bahan yang lebih enak. Booom, jadilah praline. Hasilnya diterima dengan baik oleh pasar. Perbedaan truffle dan praline terletak pada cangkangnya. Cangkang truffle terbuat dari campuran cokelat dan cream, sehingga lebih lunak dan lebih mudah meleleh. Pada bagian luar truffle lazimnya ditaburi cokelat bubuk atau kacang almond tumbuk. Sebagian praline dan truffle diproduksi oleh industri skala besar, namun sebagian lainnya produksi oleh para chocolatier (pengrajin cokelat) dalam skala industri rumahan.
Hal yang paling menarik tentang cokelat Belgia adalah bahwa negara ini tidak mempunyai satu pohon cokelat (kakao) sekalipun! Hal ini wajar mengingat pohon kakao adalah pohon yang tumbuh di negara tropis, sedangkan Belgia berada pada wilayah subtropis. Belgia mengenal cokelat pada masa kekuasaan Leopold II pada abad ke-19, ketika melakukan kolonialisasi di negara-negara Afrika. Sejak saat itu cokelat diproduksi di Belgia dari biji kakao yang diambil dari negara-negara jajahannya. Dan pada akhirnya, Belgia menjadi produsen cokelat paling masyhur sejagad raya hingga saat ini. Sampai sekarang pun, biji kakaonya masih diambil dari negara-negara penghasil kakao di wilayah tropis.
Pembuatan cokelat dari biji kakao meliputi beberapa tahapan. Biji yang telah dikeluarkan dari buahnya difermentasi untuk menghasilkan bakal aroma yang enak. Setelah itu biji kakao disangrai untuk menghasilkan citarasa khas cokelat. Biji yang telah disangrai dapat digiling untuk menghasilkan pasta cokelat, dapat pula di-press untuk menghasilkan lemak cokelat. Pasta cokelat, lemak cokelat, gula, susu bubuk, dan lesitin dicampur kemudian digiling. Proses penggilingannya ada dua tahap yaitu melalui roll refiner dan conching. Proses inilah yang paling penting untuk mendapatkan cokelat yang lembut. Setelah itu, dilakukan tempering yang bertujuan membentuk kristal lemak cokelat agar dapat memadat, dan selanjutnya dapat meleleh tepat di dalam suhu mulut. Pada tahap akhir, sebelum memadat, cokelat dapat dicetak terlebih dahulu menjadi cokelat batang atau diisi dengan beragam isian untuk menjadi praline. Cokelat tersebut bisa juga digunakan untuk menyalut biskut, permen, atau beraneka jenis produk confectionary lainnya.
Terdapat ratusan perusahan yang bergerak pada industri tersebut di Belgia. Anggota yang tercatat di Choprabisco (The Royal Belgian Association of the Biscuit, Chocolate, Pralines and Confectionary) sekitar 180 perusahaan. Jumlah tersebut belum termasuk para chocolatier yang mempunyai industri skala rumah tangga. Jumlah pekerja yang bekerja pada industry ini diperkirakan hampir 12.000 orang. Salah satu perusahaan besar di Belgia (Barry Callebaut N.V) merupakan penguasa pasar cokelat di dunia dengan market share 40%. Secara total nilai perdagangan cokelat Belgia ke seluruh dunia lebih dari 1.6 Milyar Euro per tahun.
Melihat fakta tersebut, Belgia menyadari bahwa cokelat merupakan komoditas penting di negaranya. Mereka menyadari pula bahwa kualitas cokelat Belgia sangat bergantung pada kualitas biji dari negara-negara penghasil biji kakao. Oleh karenanya, negara ini berupaya keras untuk terus menjaga dan meningkatkan kualitas biji kakao di negara-negara asalnya. Beberapa alternatif jalan yang ditempuh adalah melalui kerjasama pelatihan dan penelitian antar universitas melalui proyek-proyek yang didanai Pemerintah Belgia.
Selain pada permasalahan bahan baku produksi, mereka mengerti bahwa ada tantangan besar lain yang mereka hadapi adalah tingkat konsumsi cokelat di negara-negara Eropa dan Amerika relatif stagnan. Sehingga, Belgia berupaya melakukan promosi peningkatan konsumsi cokelat ke negara-negara yang mempunyai potensi pasar besar. Asia merupakan sasaran utama misi ini, terutama China, India, dan negara di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, negara berpenduduk besar seperti Russia, Brazil, Meksiko, Nigeria, dan Turki juga merupakan target pemasaran. Memperluas pasar ke daerah baru tentu membawa konsekuensi tersendiri, antara lain menyesuaikan kualitas produk dengan (1) kondisi area pemasaran; (2) selera konsumen daerah pemasaran. Oleh karenanya inovasi harus terus dilakukan negara ini. Namun tampaknya tradisi inovasi telah mengakar kuat, terbukti beragam inovasi produk cokelat telah dihasilkan di Belgia. Saat ini, trend pengembangan produk cokelat diarahkan pada tiga fokus utama, yaitu cokelat yang bermanfaat bagi kesehatan, cokelat yang mampu tahan disimpan lebih lama, dan pengembangan single origin chocolate.
Meskipun tidak mempunyai pohon kakao, Belgia telah berjaya dan tetap terus berupaya untuk mengembangkan produk cokelatnya. Sementara Indonesia yang mempunyai perkebunan kakao begitu luasnya, belum mampu bersaing di pasar cokelat di dunia. Data dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2021), pada Tahun 2020, luas perkebunan kakao di Indonesia mencapai 1,5 juta ha dengan hasil panen mencapai 713.400 ton.
Tingginya produksi kakao tersebut tidak sejalan dengan perkembangan industri cokelat. Hal ini dibuktikan dengan tingginya ekspor dalam bentuk bahan mentah (biji kakao) dan bahan setengah jadi (lemak kakao, pasta kakao, dan kakao bubuk) dibandingkan dalam bentuk bahan jadi (cokelat). Penghasil dan eksportir bahan mentah menduduki kasta paling rendah dalam rantai produksi cokelat dunia. Apabila industri nasional hanya memproduksi dan mengekspor bahan mentah atau bahan setengah jadi, maka nilai tambah yang didapatkan tidak besar. Nilai tambah terbesar akan didapatkan oleh negara yang dapat mengolah bahan tersebut menjadi produk akhir yang berkualitas tinggi.
Perkebunan kakao tumbuh terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia, yaitu Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Irian. Analisis sensoris yang dilakukan oleh Edward Seguine dari Mars Inc., karaktersitik kakao Indonesia antara lain mempunyai rasa pahit (bitterness) dan sepet (astringency) yang kuat; citarasa khas kakao, derajat penyangraian dan rasa floral yang sedang; serta pada beberapa sampel terdeteksi citarasa kayu dan off-flavor dengan intensitas rendah (Cocoa Atlas, 2010). Pada sampel yang lain terdeteksi pula flavor smoky, caramel, nutty, fruitty, dan asam. Profil sensoris kakao secara umum dipengaruhi oleh keadaan ekologi pertumbuhan serta proses pengolahan. Sehingga perkebunan kakao yang tersebar di banyak daerah membuka peluang bagi industri cokelat untuk mengembangkan produk single origin chocolate. Bukan hanya single origin chocolate Indonesia, namun dapat pula dikembangkan single origin chocolate Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, atau Irian. Hanya Propinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Riau yang tidak mempunyai perkebunan kakao. Artinya, single origin chocolate memungkinkan untuk dikembangkan di hampir seluruh propinsi di Indonesia.
Produksi biji kakao di Indonesia yang melimpah serta besarnya jumlah populasi penduduk di Indonesia dan negara di sekitarnya merupakan peluang bagi perkembangan industri cokelat di Indonesia. Seyogyanya industri cokelat nasional dapat mengambil peluang tersebut, dengan mengolah biji kakao menjadi produk cokelat yang berkualitas tinggi serta, paling tidak memenuhi selera pasar Asia. Belgia sebagai negara penghasil cokelat terbaik, telah memulai riset untuk ekspansi pasar ke negara-negara Asia. Apabila industri nasional tidak segera mengantisipasi, pasar Asia akan dikuasai oleh negara-negara yang mempunyai tradisi kuat di industri cokelat. Namun untuk mulai ekspansi ke pasar Asia, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi industry cokelat nasional, antara lain (1) persaingan dengan cokelat produksi Eropa yang sangat kompetitif dari segi kualitas dan penguasaan teknologi; (2) perlu pemahaman terhadap selera konsumen negara tujuan; (3) penguasaan teknologi produksi cokelat yang dapat menghasilkan cokelat bermutu tinggi sekaligus mempertahankan umur simpan dalam jangka waktu lama.
Jika menguasai pasar Asia masih dianggap tidak realistis bagi industri cokelat nasional, maka menguasai pasar domestik harus dapat dilakukan. Gagasan ini perlu segera ditindaklanjuti, sebelum para raksasa industri cokelat datang. Tantangan yang harus dihadapi dalam meraih pasar domestik antara lain tingkat konsumsi cokelat di Indonesia yang masih rendah dan pemahaman masyarakat terhadap kualitas cokelat masih minim. Konsumsi cokelat penduduk Indonesia sampai saat ini pada kisaran 0,3 kg/ kapita/ tahun. Jauh dibandingkan negara-negara Eropa seperti Swiss (9 kg/kapita/tahun) atau Belgia (5 kg/kapita/tahun). Salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menaikkan konsumsi cokelat adalah melakukan pengembangan dengan mengikuti trend yang terjadi secara global.
Kemauan untuk terus berinovasi merupakan salah satu hal yang patut diteladani dari Belgia. Meskipun telah menjadi kiblat dalam industri cokelat dunia, negara ini terus melakukan inovasi untuk menciptakan produk baru atau mengembangkan produk yang sudah eksis untuk menjadi semakin baik. Jika sang pemimpin pasar pun melakukan perbaikan berkelanjutan, maka industri cokelat di Indonesia pun tidak boleh dibiarkan stagnan.
——
Redaksi menerima artikel atau essay dari anggota Alumni Belgia dalam bentuk gagasan dan opini dengan panjang tulisan minimal 550 kata. Artikel dan foto diri dikirimkan melalui email: alumnibelgie@gmail.com.
*Artikel ini merupakan bagian dari tulisan penulis dalam buku Antimainstream Scholarship Destination: Belajar dari Jantung Benua Eropa yang diterbitkan oleh PPI Belgia dan Penerbit Lintas Nalar dengan dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Brussel dan para alumni.
Dr. Bambang Supriyanto is currently running responsibility as a Director General of Social Forestry and Environmental Partnership, Ministry of Environment and Forestry, Republic of Indonesia. He was convinced to play some important roles in Ministry of Forestry/Environment and Forestry i.e. Director of Planning Bureau; Director of Research and Development for Social Economic Forest Policy and Climate Change Center; Director of Utilization of Environmental Services of Conservation and Protected Forest; and Head of Gunung Halimun Salak National Park, Ministry of Forestry. He was highly educated and awarded a Master degree in Forest Policy and Planning and a PhD in Management of Land and Forestry and in University of Ghent-Belgium in 1992 and 1997 respectively. Furthermore, he obtained a Bachelor degree of Forestry Faculty at Bogor Agricultural UniversityIndonesia (1986). He participated in a post doctoral in Sloan School, Massachusetts Institute of Technology-United States of America (USA) on Green Economic: Prospect and Leadership Management (2015) under guidance Peter Senge and Otto Scharmer.
Dr Bambang Supriyanto was awarded for ‘The Satyalancana Wira Karya Award’, which is a token of appreciation issued to Indonesian citizens who have been very instrumental and devoted to the nation and state. This prize was awarded for his active role in accelerating the distribution of land access through policy innovation with the issuance of 19 Director-General Regulations and the development of the Social Forestry Information and Navigation System (so-called go KUPS), so that 4.42 million hectares have been distributed to 6,798 community groups for ecological improvement, reduction of social and economic conflicts.
Source: https://infinitum.ugent.be/topics/18193/news/417133
2021 applications is on going now!
An Erasmus Mundus Joint Master Degree (EMJMD), is a prestigious, integrated, international study programme, jointly delivered by an international consortium of higher education institutions. These Masters programmes accept students from all nationalities; they offer 2-year scholarships to study at prestigious European Universities, including in BELGIUM. Here are the programs in Belgium offered in the EMJMD project:
- 4CTS+: 4CITIES+ Erasmus Mundus Joint Master Degree in Urban Studies
- AFEPA: Agricultural, Food and Environmental Policy Analysis
- AquaH: International Master of Science in Health Mangement in Aquaculture
- BDMA : Big Data Management and Analytics
- BIOCEB: Erasmus Mundus Joint Master Degree in Biological and Chemical Engineering for a Sustainable Bioeconomy
- DCLead: MSc & MA in Digital Communication Leadership
- DOCNOM: DOCNOMADS DOCUMENTARY FILMDIRECTING EMJMD
- ECT+: Erasmus Mundus Master of Science in Environmental Contamination and Toxicology
- EGEI : Erasmus Mundus Joint Master Degree in Economics of Globalisation and European Integration
- EMCL++ : European Master in Clinical Linguistics++
- EMerald: EMerald Master Course in Resources Engineering
- EMGS: Erasmus Mundus Master in Global Studies – A European Perspective
- EMLE: European Master in Law and Economics
- EMMNano: Erasmus Mundus Master Nanoscience and Nanotechnology
- EMNano+: Erasmus Mundus Master Nanoscience and Nanotechnology
- EMSHIP+: Advanced Design of Ships and Offshore Structures
- EPH+: European Master in Public Health | Europubhealth+
- FAME+ : Functionalized Advanced Materials & Engineering+
- FOOD4S: European Master of Science in Sustainable Food Systems Engineering, Technology and Business
- FUSION: European Master of Science in Nuclear Fusion and Engineering Physics
- GEM: Erasmus Mundus Joint Master Degree in Geo-Information Science and Earth Observation for Environmental Modelling and Management (GEM)
- ILGSPD: International Law of Global Security, Peace and Development
- IMBRSea: International Master of Science in Marine Biological Resources
- IMFSE: The International Master of Science in Fire Safety Engineering
- IMLEX: Erasmus Mundus Japan – Master of Science in Imaging and Light in Extended Reality
- IMRD: International Master of Science in Rural Dvelopment
- IMSOGLO: International Master of Science in Soils and Global Change
- LIVE+: Leading International Vaccinology Education
- MAEH: MASTER IN APPLIED ECOHYDROLOGY
- MAiSI: Erasmus Mundus Joint Master Degree in Sports Ethics and Integrity
- MER2030: European MSc in Marine EnviRonment 2030
- MITRA: Migrations Transnationales
- PhiAFEC: Philosophies allemandes et françaises contemporaines: enjeux contemporains
- QEM2018: Models and Methods of Quantitative Economics
- RADMEP: Radiation and its Effects on MicroEletronics and Photonics Technologies
- ReaAnim: Re:Anima – European Joint Masters in Animation
- SINReM: International Master of Science in Sustainable and Innovative Natural Resource Management
- SMACCs: MSc in Smart Cities and Communities
- STRAINS: European Master in Advanced Solid Mechanics
- TCCM: Theoretical Chemistry and Computational Modelling
- TROPMUN: Erasmus Mundus Joint Master Degree in Tropical Biodiversity and Ecosystems
- WE-TEAM: World Textile Engineering Advanced Master
Please visit https://eacea.ec.europa.eu/erasmus-plus/library/scholarships-catalogue_en?fbclid=IwAR3IAkmJ5TZKJ0bZ44wAmHu3-DI2R1kv6_rRU4IY3XVcOXQ6dEc5ofS4aqg for further information.